Isna Rahmah Solihatin
A.
Pendahuluan
Bekerja
atau berprofesi sebagai guru sangat erat kaitannya dengan akhlak dalam bekerja.
Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat bergantung
pada bagaimana seseorang memaknai esensi bekerja dalam kehidupan, niat bekerja,
cara bekerja dan hakikat bekerja. Bekerja adalah kodrat hidup, dimana Allah,
Rasul-Nya serta orang-orang mukmin yang akan menilainya. Sebagaimana Allah
menjelaskan, “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada Allah Yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Taubah:
105).
Kualitas
serta mutu peserta didik dipengaruhi oleh guru yang memiliki etos kerja yang
tinggi. Oleh karenanya, guru memiliki peran yang amat strategis sebagai
EMASLIMDEF atau sebagai educator, manager, administrator, supervisor,
leader, innovator, motivator, dinamisator, evaluator dan facilitator (Suparlan:
2005).
Untuk
meningkatkan kualitas pendidikan yang dapat berjalan beriringan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta revolusi informasi dan
komunikasi yang begitu pesat, sangat diperlukan adanya subjek, alat, media atau
kebijakan yang membantu dalam menentukan pendidikan yang pantas dijalankan di
Indonesia. Tidak selayaknya muncul meme “Guru dibayar murah dituntut untuk
perbaiki karakter dan akhlak anak-anak, sedangkan artis sinetron dibayar mahal
untuk merusak akhlak anak-anak,” yang beredar untuk menyatakan keprihatinan
masyarakat terhadap Guru yang rela berkorban membentuk karakter anak bangsa.
Beredarnya meme tersebut bukan berarti menafikan kinerja guru sebagai
pendidik, melainkan kecemasan bangsa terhadap terjadinya peralihan tuntunan.
Peralihan tuntunan tersebut merupakan salah satu dampak media yang merupakan
perkembangan dari era revolusi infornasi dan komunikasi yang menjadi symbol
globalisasi.
Menurut
Rusman (2011 : 19), guru yang profesional merupakan faktor penentu dalam
meningkatkan kualitas pendidikan trutama dalam pembentukan karakter anak bangsa.
Menurutnya guru tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pada peserta didik, akan
tetapi menjadi seorang manejer belajar bagi peserta didik. Lalu, sosok seperti apakah guru dalam
pandangan Islam? Dan bagaimanakah Negara serta agama memberikan kebijakan
terhadap guru dengan etos kerja yang tinggi?
B.
Semangat Kinerja Guru
1.
Guru: Sosok yang Digugu dan Ditiru
Dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut
Rusman (2011 : 19), guru adalah seorang pendidik, pembimbing, pelatih, dan
pengembang kurikulum yang dapat menciptakan kondisi dan suasana belajar yang
kondusif, yaitu suasana belajar menyenangkan, menarik, memberi rasa aman,
memberikan ruang pada siswa untuk berpikir aktif, kreatif dan inovatif dalam
mengeksplorasikan dan mengelaborasikan kemampuannya.
Adapun
istilah guru atau pendidik yang sering digunakan dalam Islam adalah mu’allim,
yang musytaq (terbentuk) dari fi’il (kata kerja) ‘allama
‘yuallimu, yang bermakna “yaj’alahu ya’lamu”, yang kemudian memiliki
ism fa’il berupa mu’allim, yang artinya “seseorang yang menjadikan
orang lain tau akan sesuatu”.
Berdasarkan
Undang-undang dan pendapat tersebut, guru tidak hanya memiliki tugas mengajar
atau mendidik peserta didik atau mentransfer ilmu saja, akan tetapi guru juga
memiliki tugas membimbing, mengarahkan, melatih, mengembangkan kurikulum,
menilai dan mengevaluasi hasil belajar peserta didik. Tersebutlah tugas-tugas
mulia yang diemban para guru untuk membangun karakter anak bangsa ini. Bagitu
besarnya peran guru, sampai sampai Imam Ghazali menungkapan bahwa guru lebih
mulia dibanding orang tua (al-Ghazali: 2010: 71).
Selain
itu, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa: “seorang guru pastilah selalu
ada dalam hati dan jiwa manusia, karena guru merupakan sosok yang paling mulia
dimuka bumi ini, dan hati seorang guru merupakan bagian inti yang lebih mulia.”
Maka dapat dipastikan, bahwaa menjadi seorang guru, terlebih guru yang
professional, maka ia akan selalu ada dalam hati setiap anak didiknya.
Dalam
pembukaan Kode Etik Guru Indonesia hasil Kongres XXI PGRI (2013) disebutkan
bahwa guru sebagai pendidik adalah jabatan profesi yang mulia, yang mengemban
tugas kemanusian, yang dituntut dalam menjalankan tugasnya dengan ketulusan
hati dan menggunakan keandalan kompetensi, dan berpegang teguh pada prinsip ”ing
ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”.
Sebuah
prinsip singkat namun tinggi maknanya. Prinsip yang mengharuskan guru
memberikan teladan bagi peserta didik, sebagaimana Allah menjadikan pada diri Nabi
Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam teladan yang baik (uswatun hasanah)
bagi umatnya (Q.S Al-Ahzab : 21), guru pertama yang mengajar dan mendidik para
shahabat menjadi anak didik terbaik. Prinsip yang mengharuskan guru mampu
memberikan inovasi-inovasi dan membangkitkan semangat saat berada
ditengah-tengah peserta didik. Dan prinsip yang mengharuskan guru memberikan
dorongan positif pada peserta didik.
Guru
Indonesia adalah insan yang layak digugu dan ditiru dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Guru Indonesia bertanggung jawab
mengantarkan peserta didik untuk mencapai kedewasaan. Karena guru dan
profesinya merupakan komponen yang dibutuhkan sepanjang zaman (PGRI: 1989).
Oleh karena itu, guru harus memenuhi syarat-syarat profesi. Salah satu syarat
profesi guru adalah memiliki suatu kode etik yang akan menjadi pedoman dalam
pelaksanaan profesinya. Kode etik tersebut di Indonesia, dikenal dengan nama
Kode Etik Guru Indonesia.
Kode
Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh
guru-guru Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan
tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat dan warga negara (Rusman,
2011 : 32). Kode Etik Guru Indonesia yang berlaku saat ini adalah hasil
penyempurnaan pada Kongres ke XXI PGRI pada tanggal 1 – 5 Juli 2013 di Jakarta.
Rumusan
Kode Etik yang terdapat di dalam surat keputusan nomor IV/KONGRES/XXI/PGRI/2013
terdiri dari 2 bagian, yaitu kewajiban umum dan kewajiban guru terhadap peserta
didik, orangtua/wali peserta didik, masyarakat, teman sejawat, profesi,
organisasi profesi dan pemerintah (PGRI, 2013).
2.
Kinerja Guru di Indonesia
Profesi
guru niscaya tidak akan terlepas dari tugas-tugas yang harus dikerjakan olehnya.
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam melaksanakan, menyelesaikan dan
bertanggung jawab atas tugasnya agar sesuai dengan harapan dan tujuan yang
telah ditetapkan disebut sebagai kinerja (Supardi, 2013: 45).
Menurut
Rusman (2011 : 50-51), kinerja guru adalah kegiatan guru dalam proses
pembelajaran, yaitu bagaimana guru merencanakan pembelajaran, melaksanakan
kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar. Dan untuk melakukan
perbandingan terhadap apa yang dicapai dan apa yang diharapkan perlu dirumuskan
standar kinerja. Standar tersebut adalah hasil, efisiensi, kepuasan, dan
keadaptasian.
Selain
kewajiban memenuhi tugas, guru juga harus memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi dan sebagainya, sebagaimana tercatat dalam Peraturan Pemerintah Nomor
74 Tahun 2008 yang menjelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Adapun
pengualifikasian akademik guru dilakukan melalui pengelompokan pendidikan
formal, serta uji kelayakan dan kesetaraan bagi seseorang yang memiliki
keahlian tanpa ijazah. Sedangkan Standar Kompetensi Guru dikembangkan secara
utuh dari empat kompetensi utama/inti,
yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional (Permendiknas, 2007)
Selain
empat kompetensi tersebut, terdapat sepuluh kompetensi dasar yang harus
dikuasai oleh guru, yaitu menguasai bahan/materi pelajaran, mengelola program
belajar, mengelola kelas, menggunakan media dan sumber belajar, menguasai landasan
pendidikan, mengelola interaksi pembelajaran, menilai prestasi belajar siswa,
mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan
administrasi sekolah, dan memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna
keperluan pembelajaran (Rusman, 2011 : 51)
Selain
itu, ada beberapa etika yang hendanya dimiliki oleh seorang gur dalam mendidik
putra putri bangsa, diantaranya aadalah kesabaran, tawadhu, serta akhlak yang
mulia (al-Ghazal: 81). Jika etika ini
telah dimiliki seorang guru, maka peserta didik dengan mudah dapat menerima
ilmu yang disalurkan oleh pendidik. Dalam kitab ta’lim al-muta’allim juuga
ditambahkan bahwa seyogyanya, seorang pendidik itu mengajar dengan penuh kasih
saying serta mampu menjadi penasihat bagi peserta didik.
Seluruh
kompetensi serta etika dasar tersebut tidak dapat diperoleh secara instan oleh
seorang guru profesional. Guru tersebut harus mempelajari, melatih, dan
mempraktekannya terlebih dahulu, hingga ia menguasainya dan mampu
mentransfernya dengan baik pada peserta didik. Sebagaimana tertera dalam firman
Allah tentang kewajiban bagi sebagian orang dalam suatu golongan untuk menuntut
ilmu, menguasainya terlebih dahulu, dan kemudian mengajarkan ilmu yang
didapatkan itu pada golongannya (Q.S. al-Taubah : 122). Allah memandang bahwa orang yang mempelajari al-Qur’an (ilmu pengetahuan)
dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain adalah orang yang paling baik di
hadapan-Nya (H.R. Ibn Hibban). Ibnu Abd al-Bar mengatakan, jadikanlah
mengajarmu itu proses belajar bagimu (Ibn Abd al-Bar, 1994 : 522).
Ada
pepatah mengatakan, guru yang baik lebih penting dari kurikulum yang baik
(Suparlan, 2005 : v), ada pula yang mengatakan bahwa “metode lebih penting
daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan semangat guru lebih
penting daripada guru itu sendiri.” Hal ini dikarenakan guru memegang peran
sentral dalam pendidikan. Guru menjadi ujung tombak atau pelaksana terdepan yang
bertugas membangun manusia itu sendiri. Dalam membangun manusia itu dibutuhkan
ketulusan seorang guru dalam menjalankan profesinya, serta keikhlasan dalam menyebarkan ilmu karena Allah semata. Hal ini
pantaslah menjadikannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Seorang pahlawan
yang berjasa membangun bangsa dengan membentuk karakter anak bangsa.
C.
Peran Guru Dalam Mencetak Karakter Anak Bangsa
Karakter bangsa merupakan salah satu
amanat pendiri negara dan telah dimulai sejak awal kemerdekaan. Karakter bangsa
menjadi pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan
pembangunan karakter bangsa tersebut diperlukan pendidikan karakter. Pendidikan
karakter erat kaitannya dengan kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan
dilakukan hingga melahirkan kepribadian. Kebiasan-kebiasaan tersebut harus
mengacu pada nilai-nilai kelayakan, yaitu sifat-sifat mulia Nabi Muhammad sallahu
‘alaihi wasallam, shiddiq, amanah, tabligh, fathonah.
Atau dalam rumusan nasional disebut olah hati, olah rasa dan karsa, olah raga
dan olah pikir (Najib Sulhan, 2011 : 1-6).
Peran seorang guru dalam membentuk
karakter peserta didik sangatlah penting, sebagai orangtua kedua di sekolah,
karena tingkah laku dan ucapan guru selalu menjadi perhatian perserta didik.
Dalam membentuk karakter peserta didik membutuhkan ketekunan, kesabaran dan
kebersamaan/kerjasama antara guru dan orangtua serta lingkungan. Menurut
Khoirudin Bashori dikutip oleh Wahjudi Jaja, ada lima hal yang perlu
diperhatikan oleh orangtua dan guru, yaitu keteladanan, pembiasaan, nasihat,
pengawasan dan pemberian hukuman (Wahjudi Jaja, 2011 : 47).
Berprofesi sebagai pendidik dengan
etos kerja yang tinggi memiliki konsekuensi yang tinggi pula tentunya. Guru
dituntut untuk tau akan semua ilmu dalam rangka mengayomi seluruh peserta
didik. Hendaknya seorang guru juga berwawasan luas, sehingga ketika seorang
murid menanyakan sutau hal yang belum difahami, maka guru dapat memberikan
pemaparan yang dapat diterima olelh peserta didik. Dengan demikian, seorang
guru tidak akan kitman (dinilai menyembunyikan sesuatu), karena kitman
terhadap ilmu memiliki konsekuensi yang berat, berupa ancaman cambuk dari api
neraka (al-Mubarikfur: 2010)
D.
Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidik
Di
samping kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh guru, ada juga hak-hak
bagi guru yang menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhinya, sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen,
diantaranya:
a.
Memperoleh
penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b.
Mendapatkan
promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c.
Memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d.
Memperoleh
kesempatan untu meningkatkan kompetensi;
e.
Memperoleh
dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran
tugas keprofesionalan;
f.
Memiliki
kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan,
dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik
guru, dan peraturan perundang-undangan;
g.
Memperoleh
rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h.
Memiliki
kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i.
Memiliki
kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j.
Memperoleh
kesempatan unutk mengembangkan dan meningkatkan kulaifikasi akademik dan
kompetensi; dan/atau
k.
Memperoleh
pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
Telah banyak
upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Upaya tersebut
dimulai dari pemberian tunjangan transportasi, uang makan, dan tunjangan
fungsional. Di samping itu, pemerintah juga melakukan upaya dalam meningkatkan
kualitas guru, salah satu upaya pemerintah tersebut adalah adanya program sertifikasi
guru. Guru yang lolos sertifikasi berarti telah memiliki kualifikasi ilmu
keguruan dan pengajaran yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menjalankan
profesinya. Guru yang telah lolos sertifikasi juga memperoleh tunjangan
fungsional yang cukup tinggi. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas guru
ini juga berujung pada peningkatan kesejahteraan guru itu sendiri (Najib
Sulhan, 2011 : 21 – 22).
E.
Kebijakan Islam Terhadap Pendidik
Guru
dalam upayanya membentuk karakter anak bangsa merupakan salah satu perbuatan
terpuji dalam menjunjung tinggi nilai-nilai agama, menjadi salah satu upaya
dalam menyebarkan dan menolong agama Allah Swt., sehingga layaklah jika ia akan
selalu mendapatkan pertolongan Allah dalam setiap langkahnya saat menjalankan
tugas profesionalnya (Q.S. Muhammad : 7)
Teladan
baik yang telah dicontohkan oleh seorang guru pada peserta didik itu tidak akan
sia-sia. Ia akan memperoleh pahala di sisi Allah Swt. atas apa yang telah ia
contohkan, selain itu ia juga akan memperoleh pahala sebagaimana orang yang
mencontoh teladan yang diajarkannya (H.R. Muslim : 4, 2059).
Allah
Swt. juga telah menjanjikan pahala yang tidak akan terputus bagi orang yang
memiliki ilmu yang bermanfaat meskipun ia telah meninggal dunia (H.R. al-Tirmidzi
: 3, 53). Seorang guru yang telah mentransfer ilmunya pada peserta didik akan
memperoleh pahala yang tidak pernah terputus.
F.
Kesimpulan
Berdasakan
uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa guru sebagai profesi yang mulia,
yang mengemban tugas kemanusian, dituntut menjalankan tugasnya dengan ketulusan
hati dan menggunakan keandalan kompetensi, dan berpegang teguh pada prinsip ”ing
ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”.
Di
samping itu, guru berkewajiban memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Karena ia memegang peran sentral dalam
pendidikan. Guru menjadi ujung tombak atau pelaksana terdepan yang bertugas
membangun manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bar, Ibn Abd. Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlihi.
Saudi Arabia : Dar Ibn al-Jauzi, 1994.
Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa. Sunan al-Tirmidzi.
Beirut : Dar al-Gharb al-Islami. 1998
Badan Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika
(BPPKI). Jurnal Penelitian Komunikasi vol. 16 no. 1. Bandung.
2013.
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana. Jurnal Visi
Komunikasi vol. 2 no. 3. Jakarta. 2009.
Ibn Hibban. Shahih Ibn Hibban. Beirut : Muassasah
al-risalah. 1988.
Muslim. Shahih Muslim. Beirut : Dar Ihya al-Turats
al-‘Arabiy
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang
Guru.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kode Etik Guru
Indonesia. Jakarta : 2013.
Rusman, Model-model Pembelajaran, Mengembangkan
Profesionalisme Guru, Edisi ke-3, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Sulhan, Najib. Karakter Guru Masa Depan Sukses &
Bermartabat. Surabaya : Jaring Pena. 2011
Sulhan, Najib. Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa.
Surabaya : Jaring Pena. 2011
Supardi. Kinerja Guru. Jakarta : Rajawali Press. 2013
Suparlan. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta : Hikayat
Publishing. 2005.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen.
Wahjudi Jaja. Membentuk Generasi Cerdas dan Berkarakter. Kalimantan
Barat : PT Maraga Borneo Tarigas. 2011