Rabu, 29 Agustus 2018

Malala: “Education Fighter” Masakini


By: ISNA RAHMAH SOLIHATIN

Siapa yang tidak kenal Malala Yousafzai. Seorang Muslim perempuan asal Pakistan yang namanya mulai tersorot melalui bukunya   “I am Malala” yang dilaunching ketika ia  juga diminta untuk memberikan pidatonya bagi PBB pada tahun 2013 silam. Selain itu, perempuan yang sempat menjadi korban tembakan brutal para anggota Taliban itu juga meraih Penghargaan Nobel Perdamaian saat ia masih berusia 17 tahun. Malala terhitung menjadi orang termuda yang meraih penghargaan tersebut.
Malala, yang bangkit karena hak pendidikannya sempat dirampas oleh anggota Taliban menyuarakan bahwa ia tak ingin anak-anak lain  menjadi takut untuk menjadi agen peruubahan. Ia mngatakan bahwa pendidikan adalah salah satu kunci bahkan elemen terpenting untuk dapat merubah moral Bangsanya yang hancur karna kebiadaban oknum. Ia tak ingin anak-anak bahkan perempuan terdeskriditkan hanya tanpa adanya pendidikan yang memadai.
Sebagai solusi Malala juga mendirikan Malala Fund yang memiliki concern dalam bidang pendidikan untuk anak dan perempuan. Bagi Malala, pendidikakn juga sarana untuk mengolah potensi diri sehingga dapat menjadi perempuan dengan high-qualified thinking yang dapat memanusiakan manusia atau yang lebih dikenal dengan humanisasi. Hal ini sejalan dengan salah satu nilai sosial profetik yang diperkenalkan oleh Kuntowijoyo, seorang intelek Muslim yang cerdas dan memiliki banyak karya.
Nillai profetik yang berarti nilai kenabian  ini menjadi tolak ukur bagi Kuntowijoyo untuk mengubah peradaban manusia melalui ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh seorang Nabi. Spirit nilai profetik memiliki tiga unsur, amar ma’ruf, nahi munkar serta tu’minuna billah. Kemudian diriumuskan ke dalam istilah yang sesuai dengan social significance berupa Humanisasi (amar ma’ruf), Liberasi (nahi munkar) serta trensendensi (tu’minuna billah). Islam melalui Alquran juga menjelaskan bahwa Allah tidak melihat individu tetrtentu untuk memiliki pendidikan tinggi (QS. Almujadalah)
Meninjau adanya kesamaan misi yaitu untuk memanusiakan manusia atau humanisasi tanpa pandang bulu, maka siapapun termasuk perempuan berhak untuk mendapatkan hak pendidikan seperti yang telah disuarakan oleh Malala. Sehingga setiap perempuan mampu mengembangkan potensi dirinya serta dapat merekonstruksi pemikiran menuju pemikiran yang lebih transformatif dan berwawasan global. Selain itu, perempuan sebagai makhluk sosial juga butuh untuk memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan serta keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi.