Senin, 30 Mei 2016

ETOS KERJA GURU: PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK BANGSA PERSPEKTIF ISLAM



Isna Rahmah Solihatin

A.    Pendahuluan
Bekerja atau berprofesi sebagai guru sangat erat kaitannya dengan akhlak dalam bekerja. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat bergantung pada bagaimana seseorang memaknai esensi bekerja dalam kehidupan, niat bekerja, cara bekerja dan hakikat bekerja. Bekerja adalah kodrat hidup, dimana Allah, Rasul-Nya serta orang-orang mukmin yang akan menilainya. Sebagaimana Allah menjelaskan, “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Taubah: 105).
Kualitas serta mutu peserta didik dipengaruhi oleh guru yang memiliki etos kerja yang tinggi. Oleh karenanya, guru memiliki peran yang amat strategis sebagai EMASLIMDEF atau sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator, motivator, dinamisator, evaluator dan facilitator (Suparlan: 2005).
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang dapat berjalan beriringan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta revolusi informasi dan komunikasi yang begitu pesat, sangat diperlukan adanya subjek, alat, media atau kebijakan yang membantu dalam menentukan pendidikan yang pantas dijalankan di Indonesia. Tidak selayaknya muncul meme “Guru dibayar murah dituntut untuk perbaiki karakter dan akhlak anak-anak, sedangkan artis sinetron dibayar mahal untuk merusak akhlak anak-anak,” yang beredar untuk menyatakan keprihatinan masyarakat terhadap Guru yang rela berkorban membentuk karakter anak bangsa. Beredarnya meme tersebut bukan berarti menafikan kinerja guru sebagai pendidik, melainkan kecemasan bangsa terhadap terjadinya peralihan tuntunan. Peralihan tuntunan tersebut merupakan salah satu dampak media yang merupakan perkembangan dari era revolusi infornasi dan komunikasi yang menjadi symbol globalisasi.
Menurut Rusman (2011 : 19), guru yang profesional merupakan faktor penentu dalam meningkatkan kualitas pendidikan trutama dalam pembentukan karakter anak bangsa. Menurutnya guru tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pada peserta didik, akan tetapi menjadi seorang manejer belajar bagi peserta didik.  Lalu, sosok seperti apakah guru dalam pandangan Islam? Dan bagaimanakah Negara serta agama memberikan kebijakan terhadap guru dengan etos kerja yang tinggi?
B.     Semangat Kinerja Guru
1.      Guru: Sosok yang Digugu dan Ditiru
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut Rusman (2011 : 19), guru adalah seorang pendidik, pembimbing, pelatih, dan pengembang kurikulum yang dapat menciptakan kondisi dan suasana belajar yang kondusif, yaitu suasana belajar menyenangkan, menarik, memberi rasa aman, memberikan ruang pada siswa untuk berpikir aktif, kreatif dan inovatif dalam mengeksplorasikan dan mengelaborasikan kemampuannya.
Adapun istilah guru atau pendidik yang sering digunakan dalam Islam adalah mu’allim, yang musytaq (terbentuk) dari fi’il (kata kerja) ‘allama ‘yuallimu, yang bermakna “yaj’alahu ya’lamu”, yang kemudian memiliki ism fa’il berupa mu’allim, yang artinya “seseorang yang menjadikan orang lain tau akan sesuatu”.
Berdasarkan Undang-undang dan pendapat tersebut, guru tidak hanya memiliki tugas mengajar atau mendidik peserta didik atau mentransfer ilmu saja, akan tetapi guru juga memiliki tugas membimbing, mengarahkan, melatih, mengembangkan kurikulum, menilai dan mengevaluasi hasil belajar peserta didik. Tersebutlah tugas-tugas mulia yang diemban para guru untuk membangun karakter anak bangsa ini. Bagitu besarnya peran guru, sampai sampai Imam Ghazali menungkapan bahwa guru lebih mulia dibanding orang tua (al-Ghazali: 2010: 71).
Selain itu, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa: “seorang guru pastilah selalu ada dalam hati dan jiwa manusia, karena guru merupakan sosok yang paling mulia dimuka bumi ini, dan hati seorang guru merupakan bagian inti yang lebih mulia.” Maka dapat dipastikan, bahwaa menjadi seorang guru, terlebih guru yang professional, maka ia akan selalu ada dalam hati setiap anak didiknya.
Dalam pembukaan Kode Etik Guru Indonesia hasil Kongres XXI PGRI (2013) disebutkan bahwa guru sebagai pendidik adalah jabatan profesi yang mulia, yang mengemban tugas kemanusian, yang dituntut dalam menjalankan tugasnya dengan ketulusan hati dan menggunakan keandalan kompetensi, dan berpegang teguh pada prinsip ”ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”.
Sebuah prinsip singkat namun tinggi maknanya. Prinsip yang mengharuskan guru memberikan teladan bagi peserta didik, sebagaimana Allah menjadikan pada diri Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi umatnya (Q.S Al-Ahzab : 21), guru pertama yang mengajar dan mendidik para shahabat menjadi anak didik terbaik. Prinsip yang mengharuskan guru mampu memberikan inovasi-inovasi dan membangkitkan semangat saat berada ditengah-tengah peserta didik. Dan prinsip yang mengharuskan guru memberikan dorongan positif pada peserta didik.

Guru Indonesia adalah insan yang layak digugu dan ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Guru Indonesia bertanggung jawab mengantarkan peserta didik untuk mencapai kedewasaan. Karena guru dan profesinya merupakan komponen yang dibutuhkan sepanjang zaman (PGRI: 1989). Oleh karena itu, guru harus memenuhi syarat-syarat profesi. Salah satu syarat profesi guru adalah memiliki suatu kode etik yang akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan profesinya. Kode etik tersebut di Indonesia, dikenal dengan nama Kode Etik Guru Indonesia.
Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat dan warga negara (Rusman, 2011 : 32). Kode Etik Guru Indonesia yang berlaku saat ini adalah hasil penyempurnaan pada Kongres ke XXI PGRI pada tanggal 1 – 5 Juli 2013 di Jakarta.
Rumusan Kode Etik yang terdapat di dalam surat keputusan nomor IV/KONGRES/XXI/PGRI/2013 terdiri dari 2 bagian, yaitu kewajiban umum dan kewajiban guru terhadap peserta didik, orangtua/wali peserta didik, masyarakat, teman sejawat, profesi, organisasi profesi dan pemerintah (PGRI, 2013).
2.      Kinerja Guru di Indonesia
Profesi guru niscaya tidak akan terlepas dari tugas-tugas yang harus dikerjakan olehnya. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam melaksanakan, menyelesaikan dan bertanggung jawab atas tugasnya agar sesuai dengan harapan dan tujuan yang telah ditetapkan disebut sebagai kinerja (Supardi, 2013: 45).
Menurut Rusman (2011 : 50-51), kinerja guru adalah kegiatan guru dalam proses pembelajaran, yaitu bagaimana guru merencanakan pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar. Dan untuk melakukan perbandingan terhadap apa yang dicapai dan apa yang diharapkan perlu dirumuskan standar kinerja. Standar tersebut adalah hasil, efisiensi, kepuasan, dan keadaptasian.
Selain kewajiban memenuhi tugas, guru juga harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sebagainya, sebagaimana tercatat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 yang menjelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Adapun pengualifikasian akademik guru dilakukan melalui pengelompokan pendidikan formal, serta uji kelayakan dan kesetaraan bagi seseorang yang memiliki keahlian tanpa ijazah. Sedangkan Standar Kompetensi Guru dikembangkan secara utuh dari  empat kompetensi utama/inti, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (Permendiknas, 2007)
Selain empat kompetensi tersebut, terdapat sepuluh kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh guru, yaitu menguasai bahan/materi pelajaran, mengelola program belajar, mengelola kelas, menggunakan media dan sumber belajar, menguasai landasan pendidikan, mengelola interaksi pembelajaran, menilai prestasi belajar siswa, mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pembelajaran (Rusman, 2011 : 51)
Selain itu, ada beberapa etika yang hendanya dimiliki oleh seorang gur dalam mendidik putra putri bangsa, diantaranya aadalah kesabaran, tawadhu, serta akhlak yang mulia (al-Ghazal: 81).  Jika etika ini telah dimiliki seorang guru, maka peserta didik dengan mudah dapat menerima ilmu yang disalurkan oleh pendidik. Dalam kitab ta’lim al-muta’allim juuga ditambahkan bahwa seyogyanya, seorang pendidik itu mengajar dengan penuh kasih saying serta mampu menjadi penasihat bagi peserta didik.
Seluruh kompetensi serta etika dasar tersebut tidak dapat diperoleh secara instan oleh seorang guru profesional. Guru tersebut harus mempelajari, melatih, dan mempraktekannya terlebih dahulu, hingga ia menguasainya dan mampu mentransfernya dengan baik pada peserta didik. Sebagaimana tertera dalam firman Allah tentang kewajiban bagi sebagian orang dalam suatu golongan untuk menuntut ilmu, menguasainya terlebih dahulu, dan kemudian mengajarkan ilmu yang didapatkan itu pada golongannya (Q.S. al-Taubah : 122). Allah memandang bahwa orang yang mempelajari al-Qur’an (ilmu pengetahuan) dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain adalah orang yang paling baik di hadapan-Nya (H.R. Ibn Hibban). Ibnu Abd al-Bar mengatakan, jadikanlah mengajarmu itu proses belajar bagimu (Ibn Abd al-Bar, 1994 : 522).
Ada pepatah mengatakan, guru yang baik lebih penting dari kurikulum yang baik (Suparlan, 2005 : v), ada pula yang mengatakan bahwa “metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan semangat guru lebih penting daripada guru itu sendiri.” Hal ini dikarenakan guru memegang peran sentral dalam pendidikan. Guru menjadi ujung tombak atau pelaksana terdepan yang bertugas membangun manusia itu sendiri. Dalam membangun manusia itu dibutuhkan ketulusan seorang guru dalam menjalankan profesinya, serta keikhlasan dalam menyebarkan ilmu karena Allah semata. Hal ini pantaslah menjadikannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Seorang pahlawan yang berjasa membangun bangsa dengan membentuk karakter anak bangsa.
C.    Peran Guru Dalam Mencetak Karakter Anak Bangsa
Karakter bangsa merupakan salah satu amanat pendiri negara dan telah dimulai sejak awal kemerdekaan. Karakter bangsa menjadi pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan pembangunan karakter bangsa tersebut diperlukan pendidikan karakter. Pendidikan karakter erat kaitannya dengan kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan hingga melahirkan kepribadian. Kebiasan-kebiasaan tersebut harus mengacu pada nilai-nilai kelayakan, yaitu sifat-sifat mulia Nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wasallam, shiddiq, amanah, tabligh, fathonah. Atau dalam rumusan nasional disebut olah hati, olah rasa dan karsa, olah raga dan olah pikir (Najib Sulhan, 2011 : 1-6).
Peran seorang guru dalam membentuk karakter peserta didik sangatlah penting, sebagai orangtua kedua di sekolah, karena tingkah laku dan ucapan guru selalu menjadi perhatian perserta didik. Dalam membentuk karakter peserta didik membutuhkan ketekunan, kesabaran dan kebersamaan/kerjasama antara guru dan orangtua serta lingkungan. Menurut Khoirudin Bashori dikutip oleh Wahjudi Jaja, ada lima hal yang perlu diperhatikan oleh orangtua dan guru, yaitu keteladanan, pembiasaan, nasihat, pengawasan dan pemberian hukuman (Wahjudi Jaja, 2011 : 47).
Berprofesi sebagai pendidik dengan etos kerja yang tinggi memiliki konsekuensi yang tinggi pula tentunya. Guru dituntut untuk tau akan semua ilmu dalam rangka mengayomi seluruh peserta didik. Hendaknya seorang guru juga berwawasan luas, sehingga ketika seorang murid menanyakan sutau hal yang belum difahami, maka guru dapat memberikan pemaparan yang dapat diterima olelh peserta didik. Dengan demikian, seorang guru tidak akan kitman (dinilai menyembunyikan sesuatu), karena kitman terhadap ilmu memiliki konsekuensi yang berat, berupa ancaman cambuk dari api neraka (al-Mubarikfur: 2010)

D.    Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidik
Di samping kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh guru, ada juga hak-hak bagi guru yang menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhinya, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, diantaranya:
a.       Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b.      Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c.       Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d.      Memperoleh kesempatan untu meningkatkan kompetensi;
e.       Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f.       Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g.      Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h.      Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i.        Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j.        Memperoleh kesempatan unutk mengembangkan dan meningkatkan kulaifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k.      Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
Telah banyak upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Upaya tersebut dimulai dari pemberian tunjangan transportasi, uang makan, dan tunjangan fungsional. Di samping itu, pemerintah juga melakukan upaya dalam meningkatkan kualitas guru, salah satu upaya pemerintah tersebut adalah adanya program sertifikasi guru. Guru yang lolos sertifikasi berarti telah memiliki kualifikasi ilmu keguruan dan pengajaran yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menjalankan profesinya. Guru yang telah lolos sertifikasi juga memperoleh tunjangan fungsional yang cukup tinggi. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas guru ini juga berujung pada peningkatan kesejahteraan guru itu sendiri (Najib Sulhan, 2011 : 21 – 22).
E.     Kebijakan Islam Terhadap Pendidik
Guru dalam upayanya membentuk karakter anak bangsa merupakan salah satu perbuatan terpuji dalam menjunjung tinggi nilai-nilai agama, menjadi salah satu upaya dalam menyebarkan dan menolong agama Allah Swt., sehingga layaklah jika ia akan selalu mendapatkan pertolongan Allah dalam setiap langkahnya saat menjalankan tugas profesionalnya (Q.S. Muhammad : 7)
Teladan baik yang telah dicontohkan oleh seorang guru pada peserta didik itu tidak akan sia-sia. Ia akan memperoleh pahala di sisi Allah Swt. atas apa yang telah ia contohkan, selain itu ia juga akan memperoleh pahala sebagaimana orang yang mencontoh teladan yang diajarkannya (H.R. Muslim : 4, 2059). 
Allah Swt. juga telah menjanjikan pahala yang tidak akan terputus bagi orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat meskipun ia telah meninggal dunia (H.R. al-Tirmidzi : 3, 53). Seorang guru yang telah mentransfer ilmunya pada peserta didik akan memperoleh pahala yang tidak pernah terputus.

F.     Kesimpulan
Berdasakan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa guru sebagai profesi yang mulia, yang mengemban tugas kemanusian, dituntut menjalankan tugasnya dengan ketulusan hati dan menggunakan keandalan kompetensi, dan berpegang teguh pada prinsip ”ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”.
Di samping itu, guru berkewajiban memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Karena ia memegang peran sentral dalam pendidikan. Guru menjadi ujung tombak atau pelaksana terdepan yang bertugas membangun manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Bar, Ibn Abd. Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlihi. Saudi Arabia : Dar Ibn al-Jauzi, 1994.
Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa. Sunan al-Tirmidzi. Beirut : Dar al-Gharb al-Islami. 1998
Badan Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI). Jurnal Penelitian Komunikasi vol. 16 no. 1. Bandung. 2013.
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana. Jurnal Visi Komunikasi vol. 2 no. 3. Jakarta. 2009.
Ibn Hibban. Shahih Ibn Hibban. Beirut : Muassasah al-risalah. 1988.
Muslim. Shahih Muslim. Beirut : Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kode Etik Guru Indonesia. Jakarta : 2013.
Rusman, Model-model Pembelajaran, Mengembangkan Profesionalisme Guru, Edisi ke-3, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Sulhan, Najib. Karakter Guru Masa Depan Sukses & Bermartabat. Surabaya : Jaring Pena. 2011
Sulhan, Najib. Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa. Surabaya : Jaring Pena. 2011
Supardi. Kinerja Guru. Jakarta : Rajawali Press. 2013
Suparlan. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta : Hikayat Publishing. 2005.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Wahjudi Jaja. Membentuk Generasi Cerdas dan Berkarakter. Kalimantan Barat : PT Maraga Borneo Tarigas. 2011