Selasa, 29 November 2016

WOMAN: MAN'S SLATS

Women are not created from the top of men,
because women are not fated to trample the men..

Women are not created from the buttom of the men,
because women are not fated to be trampled by men..

But..
Women are created from the middle of the men,
because women are fated to walk with men as life partners..

إنّ المرأة خلقت من الضلع

Selasa, 15 November 2016

HADIS NABAWI DALAM BINGKAI PENDIDIKAN KARAKTER



Oleh: Isna Rahmah Solihatin


Pendidikan karakter menjadi isu menarik dan hangat dibicarakan dikalangan praktisi pendidikan akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia. Pasalnya, pendidikan di Indonesia sering terpasung pada kepentingan yang absurd, hanya mengedepankan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran.[1] Padahal, jika disadarai output/ hasil dari sebuah pendidikan tidak hanya terpaku pada produk kecerdasan intelektual, melainkan juga harus diselingi kecerdasan spiritual dan emosional. kecerdasan spiritual serta emosional dapat disisipkan disetiap ranah pendidikan dengan menanamkan pendidikan karakter di Indonesia.
Indonesia, dimana mayoritas penduduknya beragama Islam sangat memperhatikan bagaimana kehidupan umatnya. Islam menghendaki umatnya untuk dapat mencontoh sosok Nabi Muhammad SAW, yang tidak hanya cerdas intelektual, melainkan juga memiliki kecerdasan spiritual dan emosional yang beliau tranformasikan kedalam perangai yang baik. Perangai beliau yang baik tercantum dalam Sabda-Nya yang diriwayatkan oleh sayyidah ‘Aisyah r.a. ketika beliau ditanya perihal akhlak Rasul, beliau menjawab; “Akhlak Rasulullah SAW adalah al-Quran”.[2] Hadis tersebut menjelaskan bahwa Perangai/akhlak Rasul seperti al-Quran, dimana akhlak seperti apa yang telah terkandung dalam al-Quran merupakan sebaik-baik perangai.

Menanamkan akhlak Rasulullah SAW dalam bingkai pendidikan karakter di Indonesia dapat disalurkan melalui kurikulum-kurikulum yang diberlakukan disetiap instansi pendidikan. Adapun akhlak Rasulullah dapat diigambarkan melaui sabda-sabda Beliau SAW, karena pada hakikatnya beliau diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak umat-Nya.[3] Hendaknya bagi setiap pendidik mampu menyerap pesan yang terkandung dalam hadis Nabi baik secara langsung maupun tidak. Pendidik hendaknya mengajarkan untuk memiliki akhlak/ budi pekerti yang baik. Misalnya, manyampaikan pesan yang terkandung dalam hadis bagaimana saling menyayangi dan menghormati, bagaimana hadis memerintahkan untuk dapat berlaku mulia, berlaku adil, jujur dan lain sebagainya. Begtulah setidaknya hadis dapat berkontribusi dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang dicita-ciitakan.


[2] Abu Ja’far al-Thahawi. Syarh Musykil al-Atsar. Beirut: Muassasah al-Risalah. 1987. Jiliid 11. Hal. 265
[3] Abdu al-Rauf al-Munawi. Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shagir. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1994. Jilid 1. Hal. 402

Rabu, 10 Agustus 2016

ALQURAN DAN HADIS DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM

PENDAHULUAN
Berbicara mengenai ilmu ushul fiqh, maka yang terbesit dalam fikiran adalah ilmu-ilmu yang didalamnya membahas pemahaman syariat Islam yang berasal dari Al-Quran dan Sunah. Dimana ilmu ini juga akan memunculkan kaidah-kaidah yang dapat dijadikan pedoman serta hujjah dalam menetapkan hukum. 
Hukum-hukum yang akan dibahas disini tentulah hukum-hukum Islam, dimana hukum Islam adalah seperangkat peraturan berrdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini serta mengikat semua yang beragama Islam.
Namun, sebelum memasuki ketetapan hukum dalam Islam, tentulah baik bagi kita semua untuk mengethui sumber hukum terlebih dahulu. Adapun sumber hukum yang akan dibahas dalam makalah ini adalah al-Quran serta Hadis. Berikut pemaparannya:
A.    AL-QURAN
1.      Definisi dan Keistimewaan al-Quran
Al-quran merupakan kitab terakhir yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad SAW,
beserta dengan agama yang Ia bawa sebagai Agama yang kekal dan menjadi agama penutup dari agama-agama sebelumnya, Al-Quran juga merupakan dustur (undang-undang/ peraturan) pencipta –yakni Allah- sebagai pembenaran terhadap makhluk, begitu juga sebagai undang-uundang Langit terhadap bumi, juga sebagai Hujjah Rasul yang dijadikan saksi atas pengutusannya, pengakuan terhadap kenabiaanya, serta sebagai penunjuk atas Kejujuran dan ke-amanah-annya.[1] Dikatakan pula bahwasannya al-Quran merupakan Kalam Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab, yang tertulis diatas lembaran-lembaran, yang dinukil secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas[2], yang telah sampai kepada kita secara teratur, baik dengan bentuk lisan maupun tulisan, dari generasi kke generasi lain, dengan tetap terpelihara dari perubahan dan penggantian. Hal ini telah debenarkan oleh Allah dalam firman-Nya:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9).

Diantara keistimewaan al-Quran, ialah lafal dan maknanya dari sisi Allah SWT, serta lafal yang berbahasa Arab itu diturunkan oleh-Nya kedaalam hati Rasul-Nya. Nabi Muhammad senantiasa membaca dan menyampaikannya (tabligh). Dari keistimewaan tersebut, bercabanglah hal-hal seperti berikut:
a.       Makna-makna yang diilhamkan oleh Alllah SWT, kepada Rasul-
Nya, namun kata-katanya tidak (kata/ lafadznya dari Rasul), maka ini tidak termasuk kedalam Al-Quran, juga tidak mendapat ketetapan hukum-hukum al-Quran. Akan tetapi ini termasuk kedalam Hadis-hadis Rasul SAW, begitu juga dengan hadis Qudsi yang diucapkan oleh Rasul, yang diriwayatkan dari Allah tidaklah termasuk kedalam Al-Quran, tidak dapat menyamai al-Quran dalam ke-hujjah-annya, tidak dapat digunakan sebagai bacaan shalat serta membacanyapun tidak termasuk kedalam ibadah.
b.      Menafsiri sebuah surat atau ayat dengan lafadz Arab sebagai sinonim lafadz-lafadz Al-Quran, yang bias memberikan makna seperti lafadz asalnya, tidaklah kemudian lafadz-lafadz sinonim itu termasuk al-Quran, sekalipun penafsiran itu sudah sesuai dengan makna (dalalah) yang ditafsiri, karena al-Quran itu terdiri dari lafadz-lafadz Arab khusus, yang diturunkan dari Allah SWT.
c.       Penerjemahan sebuah surat atau ayat kedalam bahasa asing (yakni selain bahasa Arab) juga tidak dianggap sebagai al-Quran, sekalipun dalam pengalihbahasaan itu dipelihara ketelitiannya dan penyempurnaan persesuaian maknanya dengan yang diterjemahkan.[3]
Keistimewaan yang lain, yaitu bahwa al-Quran disampaikan dengan riwayat yang sohih. Dari sini muncullah persoalan bahwa beberapa Qiraat yang diriwayatkakn dengan jalan tidak mutawatir, seperti halnya dikatakan: ( وقرأ بعض الصحابة كذا / sebagian sahabat membaca begini..), maka riwayat tersebut tidak dianggap sebagai al-Quran, serta tidak menjadi ketetapan hukum.[4] Riwayat Al-Quran yang tidak shahih dalam ilmu ini disebut dengan qiraat yang Syadzah, adapun pengamalannya (kehujjahannya) ini, ulama berbeda pendapat, Imam Ghazali mengatakan bahwa ihtijaj (berhujjah) dengan qiraat tersebut tidaklah sah, sedangkan para pengikut Imam Abi Hanifah mengatakan sah untuk mengikuti qiraat tersebut, akan tetapi jumhur Ulama Ushul mengatakan pengamalan qiraat tersebut tidaklah dibenarkan, karena yang dibenarkan hanyalah qiraat yang periwayatannya sampai kepada Rasul SAW.[5]
2.      Kehujjahan AL-Quran
Al-Quran al-Karim merupakan hujjah yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, karena al-quran merupakan Kalamullah yang telah dinukil dengan riwayat yang benar serta mutawatir dan juga dengan cara yang Qath’iy (pasti) serta tidak diragukan lagi kebenarannya. Dalil kepastian itu dikarenakan adanya I’jaz. [6] adapun makna I’jaz adalah:
نسبة العجز إلى الآخرين في محاكاته والإتيان بمثله أو بمثل أقصر سورة منه[7]
“penyandaran sifat lemah kepada yang lainnya untuk membuat serta mendatangkan semisal al-Quran atau semisal surat terpendek dari al-Quran tersebut..”
I’jaz akan benar-benar dinamakan I’jaz,ketika telah mmemenuhi beberapa hal berikut ini:
-          Al-Tahaddiy (tantangan), artinya menuntut tandingan dan perlawanan,
-          Adanya motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan tersebut,
-          Juga ketiadaanya penghalang yang mencegah adanya tantangan.[8]
Al-Quran al-Karim diturunkan oleh Allah dengan segala kesempurnaanya dengan keistimewaan tersebut, tak ada satupun yang mampu membuatnya serta mendatangkan hal yang sepadan dengannya. Pernah dikatakan bahwa dahulu, ketika Rasul Saw mengikrarkan kenabiannya dihadapan para manusia, beliau mengatakan bahwa bukti kenabian beliau adalah al-Quran yang selalu beliau baca, karena al-Quran telah diwahyukan Allah kepadanya. Kemudian tidak sedikit dari manusia itu yang ingkar terhadap kenabian serta kerasulan beliau, maka tatkala itu beliau menantang mereka untuk membuat al-Quran yang sama persis, atau paling tiding, mendatangkan kitab yang sepadan, atau kiranya tidak sanggup, mereka diminta untuk membuat sepuluh surat saja yang sama dengan surat yang terkandung dalam al-Quran, jika tak sanggup pula, maka Rasul SAW meminta mereka untuk membuat 1 surat saja yang sama atau menyerupai al-Quran. Maka kemudian Rasul SAW bersumpah bahwa tidak ada 1 pun dari mereka yang akan sanggup mengerjakan serta menuruti permintaan beliau. Berikut Firman Allah terkait akan kebenaran al-Quran:
ö@è% (#qè?ù'sù 5=»tGÅ3Î/ ô`ÏiB ÏZÏã «!$# uqèd 3y÷dr& !$yJåk÷]ÏB çm÷èÎ7¨?r& bÎ) óOçFZà2 šúüÏ%Ï»|¹ ÇÍÒÈ   bÎ*sù óO©9 (#qç7ŠÉftFó¡o y7s9 öNn=÷æ$$sù $yJ¯Rr& šcqãèÎ7­Ftƒ öNèduä!#uq÷dr& 4 ô`tBur @|Êr& Ç`£JÏB yìt7©?$# çm1uqyd ÎŽötóÎ/ Wèd šÆÏiB «!$# 4 žcÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÉÈ  
“ Katakanlah: "Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al Quran) niscaya aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar. Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesung- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qasas: 49-50)
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù'tƒ È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw tbqè?ù'tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur šc%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ  
“ Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".(QS. Al-Isra: 88)
÷Pr& šcqä9qà)tƒ çm1uŽtIøù$# ( ö@è% (#qè?ù'sù ÎŽô³yèÎ/ 9uqß ¾Ï&Î#÷VÏiB ;M»tƒuŽtIøÿãB (#qãã÷Š$#ur Ç`tB OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB Èbrߊ «!$# bÎ) óOçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÊÌÈ  
“ bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (QS. Hud: 13)

3.       Penjelasan al-Quran Terhadap Hukum
Ayat-ayat al-Quran dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduanhyna dijelaskan Allah dalam al-Quran surah Ali ‘Imron, ayat 7, yaitu secara muhkam dan mutasyabbih;
t uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB (
“ Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,  Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat”(QS. Ali Imron: 7)
Berikut penjelasannya:
-          Ayat Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman,
-          Ayat Mutasyaabih, adalah ayat yang tidak pasti maknanya, sehingga dapat dipahami melalui beberapa kemungkinan.[9]
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang dapat digunakan al-Quran, yaitu:
-          Secara Juz’iy (terperinci), maksudnya al-Quran menjelaskan secara terperinci. Dalam al-Quran, Allah telah memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga da[pat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan Sunahnya. Umpamanya ayat-ayat tentang mawaris yang tetrdapat dalam surat an-Nisa ayat 11 dan 12, tentang sanksi terhadap kejahatan zina dalam surat an-Nur ayat 4, penjelasan yang terperinci dalam ayat seperti diatas, sudah terang maksudnya dan tidak memberikan peluang adanya kemungkinan pemahaman lain,
-          Secara Kulliy (global), penjelasan al-Quran terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaanya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar tu adalah Nabi SAW dengan Sunahnya.
-          Secara Isyarah, maksudnya al-Quran memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan didalamnya dalam bentuk penjelasan secara ibarat. Disamping itu juga, memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian, satu ayat al-Quran dapat memberikan beberapa maksud. Contoh Firman Allah:
n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/    
dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf” (QS. Al-Baqarah;233)
Ayat tersebut mengandung arti adanya kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakaian bagi istrinya. Tetapi dibalik pengertian itu, mujtahid menangkap isyarat adanya kemungkinan maksud lain  yang terkandung dalam ayat tersebut , yaitu bahwa “nasab seorang anak dihubungkan kepada ayahnya”.[10]

4.      Al-Quran sebagai Sumber Hukum Fiqih
Atas dasar bahwa hukum Syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukalaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (law giver) adalah Allah SWT. Ketentuann-Nya terdapat dalam wahyu-Nya yang disebut al-Quran. Dengan demikian, ditetapkan bahwa al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.

            Karena kedudukan al-Quran itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan pertama kali adalah mencari jawaban penyelesaiannya dari al-Quran. Jika kemudian ia tidak enemukn jawaban dari al-Quran, maka ia boleh merujuk ke sumber hukum setelahnya yakni Sunah, akan tetapi tetap dengan petunjuk al-Quran dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum selain al-Quran tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan al-Quran.
            Kekuatan hujjah al-Quran sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat al-Quran yang menyuruh manusia untuk mematuhi Allah SWT:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS. An-Nisa: 59)
Beberapa hal yang harus diketahui serta difahami ketika seseorang ingin menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum diantaranya:
-          Al-Quran merupakan sumber syariat serta penopang utama syariat tersebut, dimaksudkan agar seseorang ketika telah sampai pada hakikat agama Islam, ia mampu menjadikan al-Quran sebagai poros dimana sumber hukum yang lain mengitarinya.
-          Mengerti sebab-sebab turunya ayat al-quran serta yang berkaitan dengan ilmu al-quran yang lainnya, hal ini dimaksudkan agar seseorang yang diajak berbicara mengenai hukum yang akan diambil, dapat dengan mudah menerima hukum tersebut, selain itu juga agar tidak ada orang yang mengaku-ngaku mahir dalam pengambilan hukum dari nash al-quran, karena kebanyakan ayat alquran masih terbilang global.
-          Selain itu juga seseorang yang mengambil hukum dari al-quran haruslah mengerti bahwa dalam al-Quran juga terdapat nasikh dan Mansukh, dan cabang ilmu ini haruslah dimengerti supaya tidak salah dalam menetapkan hukum.
-          Para pengambil hukum dari al-Quran juga seyogyanya mengerti tentang dilalatu al-alfadz (penunjukan lafadz), yang dalam hal ini akan terbagi menjadi lafadz haqiqiy wa lafdz majaaziy, al-manthuq wa al-mafhum, al-awamir wa al-nawahiy, al- ‘umum wa al-khusus, al-muthlaq wa al-muqayyad, al-mujmal wa al-mubayyan, al-dhoohir wa al-muawwal dan lain sebagainya.[11]
 
B.     HADIS NABI (SUNNAH)
1.      Definisi Hadis dan Urgensinya 
Urgensi Hadis Nabi baik dalam studi Islam maupun implementasi ajarannya, bukanlah hal yang asing bagi kaum muslimin umumny­a, apalagi bagi kalangan ulama. Hal ini mengingat Hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri’ al-Islami) setelah Al-Qur’an. [12]
Sebagai referensi tertinggi kedua setelah Al-Qur’an, [13] Hadis membentuk hubungan simbiosis mutualism dengan Al-Qur’an dan merupakan “sumber mata air” yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya. Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadis menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi  bahwa Hadis adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”. Di sisi lain Imam Syafi’I telah “menanamkan fondasi efistemologis yang sangat menghujam ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: iza asaha al-Hadis fahuwa mazhabi, bahwa ketika “sebuah Hadis telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku”. [14]
Untuk mmenyebut apa yang bersumber dari Nabi Muhammad, ada dua istilah yang berkembang dikalangan masyarakat, pertama Hadis dan Sunnah. ditilik dari sudut maknanya Hadis bermakna baru. arti ini dimaksudkan sebagai lawan dari kata Qadim (lama) yang menjadi sifat kalam Allah (Al-Qur’an). sedangkang kata Sunnah berarti tata cara dan prilaku hidup. [15]Dari sudut terminologi, para Ahli Hadis tidak membedakan antara Hadis dan Sunnah. menurut mereka, keduanya adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau, dan sifat-sifat ini baik berupa sifat-sifat pisik, moral, maupun perilaku, dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudah menjadi Nabi semetara pakar Ilmu Ushul Fiqih membedakannya, menurut mereka, Sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi. sedangkan Hadis adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan sifar-sifat Nabi Muhammad. [16] 
2.      Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an. 
     Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa Al-Qur’an merupakan dasar syariat yang bersifat sangat global sekali, sehingga bila hanya monoton menggunakan dasar Al-Qur’an saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut maka akan  banyak sekali masalah yang tidak terselesaikan ataupun menimbulkan kebingungan yang tak mungkin terpecahkan. Semisal pada kenyataan praktik sholat, dalam Al-Qur’an hanya tertulis perintah untuk mendirikan sholat, tanpa ada penjelasan berapa kali sholat dilaksanakan dalam sehari semalam, lebih-lebih apa saja syarat dan rukun sholat, dan lain sebagainya. Orang yang hanya berpegang pada Al-Qur’an saja tidak mungkin bisa mengerjakan sholat, bagaimana praktik sholat, apa saja yang harus dilakukan dalam sholat, apa saja yang harus dijauhi ketika melakukan sholat, dan lain-lain. [17]Maka, disinilah urgensitas Hadis, yang mempunyai peran penting sebagai penafsir dan  penjelas dari keglobalan isi Al-Qur’an, sehingga manusia dapat mempelajari dan memahami islam secara utuh. Lebih spesifik lagi, setidaknya ada dua fungsi yang menjadi peran penting Hadis terhadap Al-Qur’an, yaitu : 

1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 yang artinya “Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Hadisnya menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu”  (Riwayat Bukhari - Muslim). [18] 
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadis). Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-Sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadis semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan halal (saudari ibu)-nya” (H.R. Bukhari - Muslim). [19]  
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa Hadis rasul merupakan sumber dan dasar hukum islam setelah al-qur’an, dan umat islam di wajibkan mengikuti Sunnah sebagai mana di wajibkan mengikuti Al-qur`an dan Hadis. Al-qur’an dan Hadis merupakan dua sumber syariat islam yang tetap,orang islam tidak mungkin memahami syari`at islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber tersebut yaitu al-qur’an dan Hadis.

3.      Fungsi Hadis dalam Menetapkan Masalah Yang Belum Dijelaskan  oleh Al-Qur`an. 
Kedudukan Hadis dalam menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur`an menunjukan bahwa Hadis merupakan sumber hukum Islam, Karena dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah Saw, serta mengancam orang yang menyelisinya.  
Hukum yang merupakan produk Hadis/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an banyak sekali. Seperti larangan Rasulullah tantang haram memakai sutra bagi laki-laki :

حر م لبا س الحر ير و الذ هب علي ذ كو ر ...... ....
Telah diharamkan memamakai sutra dan emas pada orang laki-laki dari ummatku.” [20]
Larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan lain sebagainya, oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi dijelaskan “jadilah Hadis sebagai rujukan hukum yang tiada pernah habis-habisnya pada pembahasan fiqih”.[21] 
Kedudukan Hadis sebagai sumber hukum Islam sesudah Al-Qur’an adalah sebab kedudukannya sebagai penguat dan penjelas, namun Hadis juga dalam menetapkan hukum berdiri sendiri, sebab kadang-kadang membawa hukum yang tidak disebutkan Al-Qur’an, seperti memberikan warisan kepada nenek perempuan (jaddah), dimana Nabi SAW, memberikan seperenam dari harta tinggalan orang yang meninggal (cucunya). [22] Dengan demikian fungsi Hadis adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

4.      Menjadikan Hadis Dhoif Sebagai Sandaran Hukum 
Para Ulama’ membagi dua: 1) yang mesti ditolak, dan 2) yang tidak mesti ditolak. dengan lain perkataan: ada yang sangat lemah, dan ada lemahnya ringan. tentang yang sangat lemah, tidak ada perselisihan dalam menolaknya, adapun yang lemahnya ringan itu, ada ulama’ berpendapat boleh dipakai untuk beberapa hal sebagai berikut:
1.      fadla-ilul a’mal: keutamaan-keutamaan dari beberapa amal, yakni Hadis-Hadis yang menerangkan keutamaan suatu amal.
2.      qishah-qishah: cerita-cerita, yakni Hadis yang berisi cerita-cerita
3.      zuhud: tidak suka kepada dunia, yakni Hadis-Hadis yang mengandung upaya supaya manusia benci kepada dunia
4.      targhib: menggemarkan , yakni Hadis yang bersifat menggemarkan manusia mengerjakan suatu perbuatan
5.      tarhib: mengancam, yaitu Hadis yang bersifat mengancam manusia mengerjakan suatu perbuatan
6.      akhlak: yaitu, Hadis yang mengandung kemulian akhlak atau sopan santun
maka, yang paling selamat ialah kita menolak semua macam Hadis lemah, apanila ia besendiri, atau tidak ada keterangan lain yang menguatkannya.[23]
  

Kesimpulan

Dari berbagai uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- Al-Quran merupakan sumber utama, yang dijadikan sebagai poros bagi sumber hukum Islam yang lainnya.
- Hadis merupakan berbagai hal yang telah diucapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah yang harus dijadikan pedoman dan contoh bagi umat Islam
- Fungsi Hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat dan memperjelas apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal).
- Dalam pengambilan hukum dari al-Quran maupun sunah hendaklah seseorang mengerti benar mengenai seluk beluk al-Quran dan sunah
- Maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan hadits dho’if bukanlah yang dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho’if serampangan begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya dibolehkan menggunakan hadits dho’if untuk menjelaskan fadha’il a’mal (keutamaan amalan) dalam amalan yang telah disyari’atkan dalam syari’at dengan dalil-dalil yang shohih Hal ini dimaksudkan agar jiwa manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut untuk melaksanakan suatu kejelekan.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan, A.Qadir.  Ilmu Mushtalah Hadis,  Bandung: CV Diponegoro. 2007 M.
Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadits. Bandung: Pustaka Setia.2007M.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.1989.
Bahreisy, Salim. Terjemah Riadhush Shalihin II. Bandung: Alma’arif. 1987.
Al-Hadisi, Abdullah Hasan. Terjemahan kitab Athar al-Hadith al-Nabawy al-Sharif fi Ikhtilaf al-Fuqaha. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2005.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2011 M.

Kholaf, Abdul Wahab. Terjemahan Usul Fiqh. Indonesia: Kharamain. 2004 M.

Saputra, Munzier. ilmu  Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1993M.

al-Khudhori, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Hadith. 2003.
al-Zuhailiy, Wahbah. al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dar al-Fikr. 1995.

Khallaf, Abd al-Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Hadith. 2002.
Syafrudin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group. 2009.
al-Zarqaniy, Muhammad Abd al-‘Adzhim. Manaahil al-‘Irfan. Kairo: Dar al-Hadith. 2001.


[1]. Muhammad Abd al-‘Adzhim al-Zarqaniy, Manaahil al-‘Irfan, (Kairo: Dar al-Hadith). Hal. 9
[2]. Wahbah al-Zuhailiy, al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr). Hal. 24
[3] . Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadith), 2002.. Hal. 26
[4] . Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadith), 2002.. Hal. 27
[5]. Muhammad al-Khudhori, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadith), 2003. Hal. 208
[6]. Wahbah al-Zuhailiy, al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr). Hal. 26
[7]. Wahbah al-Zuhailiy, al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr). Hal. 26
[8]. Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadith), 2002.. Hal. 28.
[9]. Amir Syafrudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group), 2009. Hal. 80
[10] Amir Syafrudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group), 2009. Hal. 85
[11]. Muhammad al-Khudhori, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadith), 2003. Hal. 210
[12] DR. Abdullah Hasan al-Hadisi.Terjemahan kitab Athar al-Hadith al-Nabawy al-Sharif fi Ikhtilaf al-Fuqaha. (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, , 2005) cet. 1, hlm. 3
[13] Mayoritas ulama sepakat bahwa kedudukan (manzilah) Sunnah dalam adillah ash-shar’yyah menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat’iy al-thubut, sementara Sunnah bersifat zanniyah al-thubut, sehingga yang qat’iy diutamakan dari pada yang zanny, (2) karena Sunnah berfungsi sebagai bayan bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-bayan) adalah tabi’ (pengikut) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqriry menetapkan hal tersebut dalam Hadis Mu’adz tatkala diutus ke Yaman. Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, 37-38
[14] Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2007 M ) hal:82
[15] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011 M ) Cet. ke-6, H. 32
[16] Ibid H. 33
[17] Abdul Wahab Kholaf, Terjemahan Usul Fiqh (Indonesia: Kharamain, 2004 M ) Cet. ke-3, H. 41
[18] Munzier Saputra,ilmu  Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993M ). hal 50
[19] ibid. 52
[20] Salim Bahreisy, Terjemah Riadhush Shalihin II, (Bandung:Alma’arif, 1987)Hal.15
[21] Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadts, (Bandung: Pustaka Setia,2007) hal:84.
[22] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam(Jakarta: Bulan Bintang,1989) Hal: 59
[23] A.Qadir Hasan,  Ilmu Mushtalah Hadis ( Bandung: CV Diponegoro, 2007 M ) H. 220