By: ISNA RAHMAH SOLIHATIN
Siapa yang tidak kenal Malala Yousafzai. Seorang Muslim perempuan
asal Pakistan yang namanya mulai tersorot melalui bukunya “I am
Malala” yang dilaunching ketika ia juga
diminta untuk memberikan pidatonya bagi PBB pada tahun 2013 silam. Selain itu,
perempuan yang sempat menjadi korban tembakan brutal para anggota Taliban itu
juga meraih Penghargaan Nobel Perdamaian saat ia masih berusia 17 tahun. Malala
terhitung menjadi orang termuda yang meraih penghargaan tersebut.
Malala, yang bangkit karena hak pendidikannya sempat dirampas oleh
anggota Taliban menyuarakan bahwa ia tak ingin anak-anak lain menjadi takut untuk menjadi agen peruubahan. Ia
mngatakan bahwa pendidikan adalah salah satu kunci bahkan elemen terpenting
untuk dapat merubah moral Bangsanya yang hancur karna kebiadaban oknum. Ia tak
ingin anak-anak bahkan perempuan terdeskriditkan hanya tanpa adanya pendidikan
yang memadai.
Sebagai solusi Malala juga mendirikan Malala Fund yang memiliki concern
dalam bidang pendidikan untuk anak dan perempuan. Bagi Malala, pendidikakn juga
sarana untuk mengolah potensi diri sehingga dapat menjadi perempuan dengan high-qualified
thinking yang dapat memanusiakan manusia atau yang lebih dikenal dengan
humanisasi. Hal ini sejalan dengan salah satu nilai sosial profetik yang
diperkenalkan oleh Kuntowijoyo, seorang intelek Muslim yang cerdas dan memiliki
banyak karya.
Nillai profetik yang berarti nilai kenabian ini menjadi tolak ukur bagi Kuntowijoyo untuk
mengubah peradaban manusia melalui ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh seorang
Nabi. Spirit nilai profetik memiliki tiga unsur, amar ma’ruf, nahi munkar
serta tu’minuna billah. Kemudian diriumuskan ke dalam istilah yang sesuai
dengan social significance berupa Humanisasi (amar ma’ruf), Liberasi
(nahi munkar) serta trensendensi (tu’minuna billah). Islam
melalui Alquran juga menjelaskan bahwa Allah tidak melihat individu tetrtentu
untuk memiliki pendidikan tinggi (QS. Almujadalah)
Meninjau adanya kesamaan misi yaitu untuk memanusiakan manusia atau
humanisasi tanpa pandang bulu, maka siapapun termasuk perempuan berhak untuk
mendapatkan hak pendidikan seperti yang telah disuarakan oleh Malala. Sehingga
setiap perempuan mampu mengembangkan potensi dirinya serta dapat merekonstruksi
pemikiran menuju pemikiran yang lebih transformatif dan berwawasan global. Selain
itu, perempuan sebagai makhluk sosial juga butuh untuk memperluas kesadaran
diri dan mengurangi kerenggangan serta keterasingan dari lingkungan dan proses
aktualisasi.