PENDAHULUAN
Berbicara mengenai ilmu ushul fiqh,
maka yang terbesit dalam fikiran adalah ilmu-ilmu yang didalamnya membahas
pemahaman syariat Islam yang berasal dari Al-Quran dan Sunah. Dimana ilmu ini
juga akan memunculkan kaidah-kaidah yang dapat dijadikan pedoman serta hujjah
dalam menetapkan hukum.
Hukum-hukum yang akan dibahas disini
tentulah hukum-hukum Islam, dimana hukum Islam adalah seperangkat peraturan
berrdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf
yang diakui dan diyakini serta mengikat semua yang beragama Islam.
Namun, sebelum
memasuki ketetapan hukum dalam Islam, tentulah baik bagi kita semua untuk
mengethui sumber hukum terlebih dahulu. Adapun sumber hukum yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah al-Quran serta Hadis. Berikut pemaparannya:
A.
AL-QURAN
1.
Definisi dan Keistimewaan al-Quran
Al-quran merupakan kitab terakhir
yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad SAW,
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9).
a.
Makna-makna
yang diilhamkan oleh Alllah SWT, kepada Rasul-
Nya, namun kata-katanya tidak (kata/ lafadznya dari Rasul), maka ini tidak termasuk kedalam Al-Quran, juga tidak mendapat ketetapan hukum-hukum al-Quran. Akan tetapi ini termasuk kedalam Hadis-hadis Rasul SAW, begitu juga dengan hadis Qudsi yang diucapkan oleh Rasul, yang diriwayatkan dari Allah tidaklah termasuk kedalam Al-Quran, tidak dapat menyamai al-Quran dalam ke-hujjah-annya, tidak dapat digunakan sebagai bacaan shalat serta membacanyapun tidak termasuk kedalam ibadah.
Nya, namun kata-katanya tidak (kata/ lafadznya dari Rasul), maka ini tidak termasuk kedalam Al-Quran, juga tidak mendapat ketetapan hukum-hukum al-Quran. Akan tetapi ini termasuk kedalam Hadis-hadis Rasul SAW, begitu juga dengan hadis Qudsi yang diucapkan oleh Rasul, yang diriwayatkan dari Allah tidaklah termasuk kedalam Al-Quran, tidak dapat menyamai al-Quran dalam ke-hujjah-annya, tidak dapat digunakan sebagai bacaan shalat serta membacanyapun tidak termasuk kedalam ibadah.
b.
Menafsiri
sebuah surat atau ayat dengan lafadz Arab sebagai sinonim lafadz-lafadz
Al-Quran, yang bias memberikan makna seperti lafadz asalnya, tidaklah kemudian
lafadz-lafadz sinonim itu termasuk al-Quran, sekalipun penafsiran itu sudah
sesuai dengan makna (dalalah) yang ditafsiri, karena al-Quran itu
terdiri dari lafadz-lafadz Arab khusus, yang diturunkan dari Allah SWT.
c.
Penerjemahan
sebuah surat atau ayat kedalam bahasa asing (yakni selain bahasa Arab) juga
tidak dianggap sebagai al-Quran, sekalipun dalam pengalihbahasaan itu
dipelihara ketelitiannya dan penyempurnaan persesuaian maknanya dengan yang
diterjemahkan.[3]
Keistimewaan yang lain, yaitu bahwa
al-Quran disampaikan dengan riwayat yang sohih. Dari sini muncullah
persoalan bahwa beberapa Qiraat yang diriwayatkakn dengan jalan tidak
mutawatir, seperti halnya dikatakan: ( وقرأ بعض الصحابة
كذا / sebagian sahabat membaca begini..), maka riwayat tersebut
tidak dianggap sebagai al-Quran, serta tidak menjadi ketetapan hukum.[4]
Riwayat Al-Quran yang tidak shahih dalam ilmu ini disebut dengan qiraat yang Syadzah,
adapun pengamalannya (kehujjahannya) ini, ulama berbeda pendapat, Imam Ghazali
mengatakan bahwa ihtijaj (berhujjah) dengan qiraat tersebut tidaklah
sah, sedangkan para pengikut Imam Abi Hanifah mengatakan sah untuk mengikuti
qiraat tersebut, akan tetapi jumhur Ulama Ushul mengatakan pengamalan qiraat
tersebut tidaklah dibenarkan, karena yang dibenarkan hanyalah qiraat yang
periwayatannya sampai kepada Rasul SAW.[5]
2.
Kehujjahan AL-Quran
Al-Quran al-Karim merupakan hujjah
yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, karena al-quran merupakan Kalamullah
yang telah dinukil dengan riwayat yang benar serta mutawatir dan juga dengan
cara yang Qath’iy (pasti) serta tidak diragukan lagi kebenarannya. Dalil
kepastian itu dikarenakan adanya I’jaz. [6]
adapun makna I’jaz adalah:
نسبة العجز إلى الآخرين في محاكاته والإتيان
بمثله أو بمثل أقصر سورة منه[7]
“penyandaran sifat lemah kepada yang lainnya untuk membuat serta
mendatangkan semisal al-Quran atau semisal surat terpendek dari al-Quran
tersebut..”
I’jaz akan
benar-benar dinamakan I’jaz,ketika telah mmemenuhi beberapa hal berikut
ini:
-
Al-Tahaddiy
(tantangan), artinya menuntut tandingan dan perlawanan,
-
Adanya
motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan tersebut,
-
Juga
ketiadaanya penghalang yang mencegah adanya tantangan.[8]
Al-Quran al-Karim diturunkan oleh
Allah dengan segala kesempurnaanya dengan keistimewaan tersebut, tak ada
satupun yang mampu membuatnya serta mendatangkan hal yang sepadan dengannya.
Pernah dikatakan bahwa dahulu, ketika Rasul Saw mengikrarkan kenabiannya
dihadapan para manusia, beliau mengatakan bahwa bukti kenabian beliau adalah
al-Quran yang selalu beliau baca, karena al-Quran telah diwahyukan Allah
kepadanya. Kemudian tidak sedikit dari manusia itu yang ingkar terhadap
kenabian serta kerasulan beliau, maka tatkala itu beliau menantang mereka untuk
membuat al-Quran yang sama persis, atau paling tiding, mendatangkan kitab yang
sepadan, atau kiranya tidak sanggup, mereka diminta untuk membuat sepuluh surat
saja yang sama dengan surat yang terkandung dalam al-Quran, jika tak sanggup
pula, maka Rasul SAW meminta mereka untuk membuat 1 surat saja yang sama atau
menyerupai al-Quran. Maka kemudian Rasul SAW bersumpah bahwa tidak ada 1 pun
dari mereka yang akan sanggup mengerjakan serta menuruti permintaan beliau.
Berikut Firman Allah terkait akan kebenaran al-Quran:
ö@è% (#qè?ù'sù 5=»tGÅ3Î/ ô`ÏiB ÏZÏã «!$# uqèd 3y÷dr& !$yJåk÷]ÏB çm÷èÎ7¨?r& bÎ) óOçFZà2 úüÏ%Ï»|¹ ÇÍÒÈ bÎ*sù óO©9 (#qç7ÉftFó¡o y7s9 öNn=÷æ$$sù $yJ¯Rr& cqãèÎ7Ft öNèduä!#uq÷dr& 4 ô`tBur @|Êr& Ç`£JÏB yìt7©?$# çm1uqyd ÎötóÎ/ Wèd ÆÏiB «!$# 4 cÎ) ©!$# w Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÉÈ
“ Katakanlah: "Datangkanlah olehmu
sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk
daripada keduanya (Taurat dan Al Quran) niscaya aku mengikutinya, jika kamu
sungguh orang-orang yang benar. Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu)
ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka
(belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesung- guhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qasas: 49-50)
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù't È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# w tbqè?ù't ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur c%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZÎgsß ÇÑÑÈ
“ Katakanlah: "Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".(QS. Al-Isra: 88)
÷Pr& cqä9qà)t çm1utIøù$# ( ö@è% (#qè?ù'sù Îô³yèÎ/ 9uqß ¾Ï&Î#÷VÏiB ;M»tutIøÿãB (#qãã÷$#ur Ç`tB OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB Èbrß «!$# bÎ) óOçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÊÌÈ
“ bahkan mereka mengatakan: "Muhammad
telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka
datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan
panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu
memang orang-orang yang benar". (QS. Hud: 13)
3.
Penjelasan al-Quran Terhadap
Hukum
Ayat-ayat al-Quran dari segi
kejelasan artinya ada dua macam. Keduanhyna dijelaskan Allah dalam al-Quran
surah Ali ‘Imron, ayat 7, yaitu secara muhkam dan mutasyabbih;
t uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB (
“ Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al
Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat”(QS. Ali Imron: 7)
Berikut penjelasannya:
-
Ayat
Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang,
sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya
beberapa kemungkinan pemahaman,
-
Ayat
Mutasyaabih, adalah ayat yang tidak pasti maknanya, sehingga dapat
dipahami melalui beberapa kemungkinan.[9]
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang
dapat digunakan al-Quran, yaitu:
-
Secara
Juz’iy (terperinci), maksudnya al-Quran menjelaskan secara terperinci.
Dalam al-Quran, Allah telah memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga
da[pat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan
Sunahnya. Umpamanya ayat-ayat tentang mawaris yang tetrdapat dalam surat
an-Nisa ayat 11 dan 12, tentang sanksi terhadap kejahatan zina dalam surat
an-Nur ayat 4, penjelasan yang terperinci dalam ayat seperti diatas, sudah
terang maksudnya dan tidak memberikan peluang adanya kemungkinan pemahaman
lain,
-
Secara
Kulliy (global), penjelasan al-Quran terhadap hukum berlaku secara garis
besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaanya. Yang paling
berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar
tu adalah Nabi SAW dengan Sunahnya.
-
Secara
Isyarah, maksudnya al-Quran memberikan penjelasan terhadap apa yang
secara lahir disebutkan didalamnya dalam bentuk penjelasan secara ibarat.
Disamping itu juga, memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain.
Dengan demikian, satu ayat al-Quran dapat memberikan beberapa maksud. Contoh
Firman Allah:
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/
“ dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf” (QS. Al-Baqarah;233)
Ayat tersebut mengandung arti adanya
kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakaian bagi istrinya. Tetapi dibalik
pengertian itu, mujtahid menangkap isyarat adanya kemungkinan maksud lain yang terkandung dalam ayat tersebut , yaitu
bahwa “nasab seorang anak dihubungkan kepada ayahnya”.[10]
4.
Al-Quran sebagai Sumber Hukum Fiqih
Atas dasar bahwa hukum Syara’ itu
adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukalaf, maka dapat
dikatakan bahwa pembuat hukum (law giver) adalah Allah SWT.
Ketentuann-Nya terdapat dalam wahyu-Nya yang disebut al-Quran. Dengan demikian,
ditetapkan bahwa al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga
sebagai dalil utama fiqh. Al-quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk
menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.Karena kedudukan al-Quran itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan pertama kali adalah mencari jawaban penyelesaiannya dari al-Quran. Jika kemudian ia tidak enemukn jawaban dari al-Quran, maka ia boleh merujuk ke sumber hukum setelahnya yakni Sunah, akan tetapi tetap dengan petunjuk al-Quran dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum selain al-Quran tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan al-Quran.
Kekuatan hujjah
al-Quran sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat al-Quran
yang menyuruh manusia untuk mematuhi Allah SWT:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS.
An-Nisa: 59)
Beberapa hal yang harus diketahui
serta difahami ketika seseorang ingin menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum
diantaranya:
-
Al-Quran
merupakan sumber syariat serta penopang utama syariat tersebut, dimaksudkan
agar seseorang ketika telah sampai pada hakikat agama Islam, ia mampu
menjadikan al-Quran sebagai poros dimana sumber hukum yang lain mengitarinya.
-
Mengerti sebab-sebab turunya ayat al-quran
serta yang berkaitan dengan ilmu al-quran yang lainnya, hal ini dimaksudkan
agar seseorang yang diajak berbicara mengenai hukum yang akan diambil, dapat
dengan mudah menerima hukum tersebut, selain itu juga agar tidak ada orang yang
mengaku-ngaku mahir dalam pengambilan hukum dari nash al-quran, karena
kebanyakan ayat alquran masih terbilang global.
-
Selain itu juga seseorang yang mengambil hukum
dari al-quran haruslah mengerti bahwa dalam al-Quran juga terdapat nasikh dan
Mansukh, dan cabang ilmu ini haruslah dimengerti supaya tidak salah dalam
menetapkan hukum.
-
Para pengambil hukum dari al-Quran juga
seyogyanya mengerti tentang dilalatu al-alfadz (penunjukan lafadz), yang
dalam hal ini akan terbagi menjadi lafadz haqiqiy wa lafdz majaaziy,
al-manthuq wa al-mafhum, al-awamir wa al-nawahiy, al- ‘umum wa al-khusus, al-muthlaq
wa al-muqayyad, al-mujmal wa al-mubayyan, al-dhoohir wa al-muawwal dan lain
sebagainya.[11]
B.
HADIS NABI
(SUNNAH)
1.
Definisi Hadis
dan Urgensinya
Urgensi Hadis
Nabi baik dalam studi Islam maupun implementasi ajarannya, bukanlah hal yang
asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi kalangan ulama. Hal ini
mengingat Hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem
hukum Islam (al-Tashri’ al-Islami) setelah Al-Qur’an. [12]
Sebagai
referensi tertinggi kedua setelah Al-Qur’an, [13]
Hadis membentuk hubungan simbiosis mutualism dengan Al-Qur’an dan
merupakan “sumber mata air” yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi
inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya. Al-Qur’an itu
menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadis menjadi asas perundang-undangan
setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi bahwa Hadis adalah “sumber hukum syara’
setelah Al-Qur’an”. Di sisi lain Imam Syafi’I telah “menanamkan fondasi
efistemologis yang sangat menghujam ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang
berbunyi: iza asaha al-Hadis fahuwa mazhabi, bahwa ketika “sebuah Hadis
telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku”. [14]
Untuk mmenyebut
apa yang bersumber dari Nabi Muhammad, ada dua istilah yang berkembang
dikalangan masyarakat, pertama Hadis dan Sunnah. ditilik dari sudut maknanya
Hadis bermakna baru. arti ini dimaksudkan sebagai lawan dari kata Qadim (lama)
yang menjadi sifat kalam Allah (Al-Qur’an). sedangkang kata Sunnah berarti tata
cara dan prilaku hidup. [15]Dari sudut
terminologi, para Ahli Hadis tidak membedakan antara Hadis dan Sunnah. menurut
mereka, keduanya adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad baik berupa
perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau, dan sifat-sifat ini
baik berupa sifat-sifat pisik, moral, maupun perilaku, dan hal itu baik sebelum
beliau menjadi Nabi maupun sesudah menjadi Nabi semetara pakar Ilmu Ushul Fiqih
membedakannya, menurut mereka, Sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan
penetapan Nabi. sedangkan Hadis adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan
sifar-sifat Nabi Muhammad. [16]
2.
Fungsi Hadis Terhadap
Al-Qur’an.
Sebagaimana yang telah dijelaskan,
bahwa Al-Qur’an merupakan dasar syariat yang bersifat sangat global sekali,
sehingga bila hanya monoton menggunakan dasar Al-Qur’an saja tanpa adanya
penjelasan lebih lanjut maka akan banyak sekali masalah yang tidak
terselesaikan ataupun menimbulkan kebingungan yang tak mungkin terpecahkan.
Semisal pada kenyataan praktik sholat, dalam Al-Qur’an hanya tertulis perintah
untuk mendirikan sholat, tanpa ada penjelasan berapa kali sholat dilaksanakan
dalam sehari semalam, lebih-lebih apa saja syarat dan rukun sholat, dan lain
sebagainya. Orang yang hanya berpegang pada Al-Qur’an saja tidak mungkin bisa
mengerjakan sholat, bagaimana praktik sholat, apa saja yang harus dilakukan
dalam sholat, apa saja yang harus dijauhi ketika melakukan sholat, dan
lain-lain. [17]Maka, disinilah urgensitas Hadis,
yang mempunyai peran penting sebagai penafsir dan penjelas dari
keglobalan isi Al-Qur’an, sehingga manusia dapat mempelajari dan memahami islam
secara utuh. Lebih spesifik lagi, setidaknya ada dua fungsi yang menjadi peran
penting Hadis terhadap Al-Qur’an, yaitu :
1. Berfungsi menetapkan dan
memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini
keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an
mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 yang artinya
“Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Hadisnya menguatkan:
“Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa
besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1)
Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah
sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata
(bersaksi) palsu” (Riwayat Bukhari - Muslim). [18]
2. Memberikan
perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid
(persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah
mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam
Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan
sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan
cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil
(diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadis).
Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat
Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-Sunnah mentaqyidkan kemutlakannya
dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan
darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam
darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai
belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa Menetapkan hukum atau
aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini
hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadis semata-mata.
Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya,
seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita
dengan“ ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan halal (saudari
ibu)-nya” (H.R. Bukhari - Muslim). [19]
Seluruh
umat islam telah sepakat bahwa Hadis rasul merupakan sumber dan dasar hukum
islam setelah al-qur’an, dan umat islam di wajibkan mengikuti Sunnah sebagai
mana di wajibkan mengikuti Al-qur`an dan Hadis. Al-qur’an
dan Hadis merupakan dua sumber syariat islam yang tetap,orang islam tidak
mungkin memahami syari`at islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali
kepada kedua sumber tersebut yaitu al-qur’an dan Hadis.
Kedudukan
Hadis dalam menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur`an menunjukan bahwa Hadis merupakan sumber hukum Islam,
Karena dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kepada orang-orang
beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan dilarang
Rasulullah Saw, serta mengancam orang yang menyelisinya.
Hukum
yang merupakan produk Hadis/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an banyak
sekali. Seperti larangan Rasulullah tantang haram memakai sutra bagi laki-laki
:
حر م لبا س الحر ير و الذ هب علي ذ كو ر ......
....
Larangan memadu perempuan
dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram
memakai cincin emas dan lain sebagainya, oleh Dr.
Yusuf al-Qardhawi dijelaskan “jadilah Hadis sebagai rujukan hukum yang tiada
pernah habis-habisnya pada pembahasan fiqih”.[21]
Kedudukan Hadis sebagai
sumber hukum Islam sesudah Al-Qur’an adalah sebab kedudukannya sebagai penguat
dan penjelas, namun Hadis juga dalam menetapkan hukum berdiri sendiri, sebab
kadang-kadang membawa hukum yang tidak disebutkan Al-Qur’an, seperti memberikan
warisan kepada nenek perempuan (jaddah), dimana Nabi SAW, memberikan
seperenam dari harta tinggalan orang yang meninggal (cucunya). [22] Dengan
demikian fungsi Hadis adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia
untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Para
Ulama’ membagi dua: 1) yang mesti ditolak, dan 2) yang tidak mesti ditolak.
dengan lain perkataan: ada yang sangat lemah, dan ada lemahnya ringan. tentang
yang sangat lemah, tidak ada perselisihan dalam menolaknya, adapun yang
lemahnya ringan itu, ada ulama’ berpendapat boleh dipakai untuk beberapa hal
sebagai berikut:
1.
fadla-ilul a’mal: keutamaan-keutamaan
dari beberapa amal, yakni Hadis-Hadis yang menerangkan keutamaan suatu amal.
2.
qishah-qishah: cerita-cerita, yakni Hadis yang berisi
cerita-cerita
3.
zuhud: tidak suka kepada dunia, yakni Hadis-Hadis
yang mengandung upaya supaya manusia benci kepada dunia
4.
targhib: menggemarkan , yakni Hadis yang bersifat
menggemarkan manusia mengerjakan suatu perbuatan
5.
tarhib: mengancam, yaitu Hadis yang bersifat
mengancam manusia mengerjakan suatu perbuatan
6.
akhlak: yaitu, Hadis yang mengandung kemulian akhlak
atau sopan santun
maka, yang paling selamat ialah kita menolak
semua macam Hadis lemah, apanila ia besendiri, atau tidak ada keterangan lain
yang menguatkannya.[23]
Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah disampaikan
pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- Al-Quran merupakan sumber utama, yang
dijadikan sebagai poros bagi sumber hukum Islam yang lainnya.
- Hadis merupakan berbagai hal yang telah diucapkan
dan dicontohkan oleh Rasulullah yang harus dijadikan pedoman dan contoh bagi
umat Islam
- Fungsi Hadis terhadap Al-Qur’an adalah
sebagai penguat dan memperjelas apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an yang masih
bersifat global (mujmal).
- Dalam pengambilan hukum dari al-Quran maupun
sunah hendaklah seseorang mengerti benar mengenai seluk beluk al-Quran dan
sunah
- Maksud
sebagian ulama yang membolehkan menggunakan hadits dho’if bukanlah yang
dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho’if serampangan begitu saja. Namun,
maksud mereka adalah bahwasanya dibolehkan menggunakan hadits dho’if untuk
menjelaskan fadha’il a’mal (keutamaan amalan) dalam amalan yang telah
disyari’atkan dalam syari’at dengan dalil-dalil yang shohih Hal ini dimaksudkan
agar jiwa manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau
menjadi takut untuk melaksanakan suatu kejelekan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, A.Qadir. Ilmu
Mushtalah Hadis, Bandung: CV
Diponegoro. 2007 M.
Qardhawi,
Yusuf. Pengantar Studi Hadits. Bandung: Pustaka Setia.2007M.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.1989.
Bahreisy, Salim. Terjemah Riadhush Shalihin II. Bandung: Alma’arif. 1987.
Al-Hadisi, Abdullah Hasan. Terjemahan kitab Athar al-Hadith al-Nabawy
al-Sharif fi Ikhtilaf al-Fuqaha. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2005.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2011 M.
Kholaf, Abdul Wahab. Terjemahan Usul Fiqh. Indonesia: Kharamain. 2004 M.
Saputra, Munzier. ilmu Hadis. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 1993M.
al-Khudhori, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Hadith.
2003.
al-Zuhailiy, Wahbah. al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh. Damaskus:
Dar al-Fikr. 1995.
Khallaf, Abd al-Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar
al-Hadith. 2002.
Syafrudin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group.
2009.
al-Zarqaniy, Muhammad Abd al-‘Adzhim. Manaahil al-‘Irfan.
Kairo: Dar al-Hadith. 2001.
[1]. Muhammad Abd
al-‘Adzhim al-Zarqaniy, Manaahil al-‘Irfan, (Kairo: Dar al-Hadith). Hal.
9
[2]. Wahbah
al-Zuhailiy, al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr). Hal.
24
[3] . Abd
al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadith), 2002..
Hal. 26
[4] . Abd
al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadith), 2002..
Hal. 27
[5]. Muhammad
al-Khudhori, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadith), 2003. Hal. 208
[6]. Wahbah
al-Zuhailiy, al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr). Hal.
26
[7]. Wahbah
al-Zuhailiy, al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr). Hal.
26
[8]. Abd al-Wahhab
Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadith), 2002.. Hal. 28.
[9]. Amir
Syafrudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group), 2009. Hal. 80
[10] Amir Syafrudin,
Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group), 2009. Hal. 85
[11]. Muhammad
al-Khudhori, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadith), 2003. Hal. 210
[12] DR.
Abdullah Hasan al-Hadisi.Terjemahan kitab Athar al-Hadith al-Nabawy
al-Sharif fi Ikhtilaf al-Fuqaha. (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, ,
2005) cet. 1, hlm. 3
[13] Mayoritas
ulama sepakat bahwa kedudukan (manzilah) Sunnah dalam adillah ash-shar’yyah
menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat’iy
al-thubut, sementara Sunnah bersifat zanniyah al-thubut, sehingga yang qat’iy
diutamakan dari pada yang zanny, (2) karena Sunnah berfungsi sebagai bayan bagi
Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-bayan) adalah tabi’ (pengikut) bagi
yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara
taqriry menetapkan hal tersebut dalam Hadis Mu’adz tatkala diutus ke Yaman.
Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, 37-38
[14] Yusuf
Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, (Bandung: Pustaka Setia,
2007 M ) hal:82
[15] Ali Mustafa
Yaqub, Kritik Hadis ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011 M ) Cet. ke-6, H.
32
[16] Ibid H.
33
[17] Abdul Wahab
Kholaf, Terjemahan Usul Fiqh (Indonesia: Kharamain, 2004 M ) Cet. ke-3,
H. 41
[18] Munzier
Saputra,ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993M
). hal 50
[19] ibid. 52
[22] Ahmad Hanafi, Pengantar
dan Sejarah Hukum Islam(Jakarta: Bulan Bintang,1989) Hal: 59
[23] A.Qadir Hasan,
Ilmu Mushtalah Hadis ( Bandung:
CV Diponegoro, 2007 M ) H. 220
Tidak ada komentar:
Posting Komentar