Oleh:
Isna Rahmah Solihatin
A.
Pendahuluan
Dewasa ini umat Islam Indonesia dihadapkan pada tiga problem besar
dan serius. Problem tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga level yaitu
lokal, nasional dan global (Amin Abdullah: 2016). Level lokal berkaitan dengan
nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat. Pada posisi ini, bagaimana
Islam bersikap bijak dalam menyantuni kearifan yang berkembang di tengah
masyarakat selama tidak bertentangan dengan nilai dasar Islam.Persoalan
selanjutnya ialah pada level nasional, yaitu persoalan yang menyangkut
bagaimana Islam berdampingan dengan demokrasi, Pancasila dan tatanan
kenegaraan lainnya. Sedangkan persoalan pada level berikutnya yaitu global yang
terdiri dari berbagai persoalan seperti HAM dan kemiskinan.
Indonesia juga dihadapkan dengan permasalahan yang menuntut jawaban
dari seluruh elemen masyarakatnya. Setelah belasan tahun melaksanakan
reformasi, namun ternyata masyarakat
Indonesia bertambah resah. Ancaman tindak kriminalitas yang menganggu hak setiap orang untuk
mendapatkan keamanan juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan
catatan akhir tahun 2013 Polda Metro Jaya, tiap 10 menit di wilayah hukumnya
mencuat satu kasus kejahatan. Crime clock mengalami perlambatan selama 9
detik yaitu dari 9 menit57 detik pada tahun 2011 menjadi 10 menit 6 detik di
tahun 2012. Artinya pada tahun 2012 setiap 10 menit 6 detik terjadi satu kasus
kejahatan. Kejahatan yang masih menonjol di tahun 2012 yakni kasus perampokan.
Aksi pencurian dan kekerasan ini makin merajalela. Tahun 2013 sebanyak 1.094
kasus, meningkat 159 kasus atau 17,00 persen dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah
925 kasus. Dari 1.094 kejadian perampokan itu, yang terungkap 610 kasus atau
55,75 persen (Polda Metro Jaya: 2013).
Tindak kriminalitas di atas menunjukkan bahwa Indonesia sedang di landa dekadensi moral.
Adanya tindak perampokan, pencurian serta kekerasan menggambarkan bahwa salah
satu penyebab dekadensi moral anak bangsa adalah problem ekonomi yang melanda.
Probelem ekonomi merupakan salah satu permasalahan besar yang dihadapai
Indonesia sehingga menyebabkan kemiskinan merajalela. Sebagai agama yang
rahmatan lil ‘alamin Islam diharapkan
dapat memberikan sebuah tawaran yang lebih bersifat kontruktif dalam membangun
peradaban yang ramah terhadap persoalan kemiskinan. Kemiskinan menjadi
persoalan pelik umat Islam dimana pun berada. Kompleksitas persoalan tersebut
tidak hanya pada kemiskinan, tetapi akibat kemiskinan ini berdampak pada
sendi kehidupan lainnya seperti maraknya aksi kriminal sebagaimana disebutkan
di awal, prostitusi, dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana sebenarnya wacana
agama dalam menyelesaikan dinamika persoalan ini.
Islam hadir dengan Alquran sebagai sumber nilai dalam kehidupan
pemeluknya. Nilai yang terkandung dalam Alquran seharusnya dapat
terinternalisasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan luhur ini
tentunya harus terus dijaga dan dikembangkan sebagai salah satu bentuk syiar
agama untuk lebih mencintai Alquran. Menanamkan nilai-nilai yang terkandung
dalam Alquran tidak hanya sebuah kewajiban, melainan harus menjadi sebuah
kebutuhan umat Muslim, termasuk dalam menangani problematika global Indonesia
berupa kemiskinan. Kemiskinan dapat dicegah dengan merevolusi budaya kerja
masyarakat Indonesia. Urgensi revolusi bekerja bagi setiap individu adalah
sebuah keharusan tanpa menghilanggkan orientasi agama Islam yang menjunjung
tinggi misi kemanusiaan, kebangsaan serta keumatan.
Etika serta budaya kerja Isalam dapat dirumuskan menjadi etos kerja
muslim profetik (kenabian), sebuah
refleksi kritis-transformatif dalam menyelesaikan problem keumatan ini.
Etos kerja muslim seperti ini mesti diorientasikan dalam mengkampayekan misi
Islam yang ramah, toleran, moderat yang bermuara pada pembumian nilai-nilai
profetik Islam. Nilai profetik Islam ini dapat dikaji lebih jauh dalam QS. Ali
Imran/3: 110 yang mendasarkan pada nilai humanisasi (memanusiakan manusia
dengan menyeru kepada kebaikan), liberasi (menyerukan untuk membebaskan manusia
dari segala ketertindasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi) dan
transendensi (acuan dasar dalam dalam melaksanakan tugas humanisasi dan liberasi,
yaitu keimanan kepada Allah dan RasulNya) (Kuntowijoyo: 2006). Tiga nilai dasar
profetik dirasa cukup untuk menjadi asumsi dasar dalam menulis makalah ini.
B. ETOS KERJA: DOKTRIN AGAMA DAN SPIRIT BEKERJA
Bekerja
sesungguhnya merupakan perwujudan dari eksistensi dan aktualisasi diri manusia
dalam hidupnya. Bekerja adalah sebuah aktivitas yang menggunakan daya yang
telah dianugrahkan oleh Allah SWT. Manusia, secara garis besar, dianugrahi
empat daya pokok. Pertama, daya fisik yang enghasilkan kegiatan fisik dan
keterampilan. Kedua, daya pikir yang mendorong pemiliknya berpikir dan
menghasilkan ilmu pengetahuan. Ketiga, daya kalbu yang menjadikan manusia mampu
berkhayal, mengekspresikakn keindahan, beriman dan merasa, serta berhubungan
dengan Allah, Sang Pencipta. Keempat, daya hidup yang menghasilkan semangat
juang, kemampuan menghadapi tantangan dan menanggulangi kesulitan (Quraish
Shihab: 2013, 305).
Bekerja tentu
saja tidak hanya sekedar bekerja. Pekerja harusllah memiliki etika. Etika
bekerja ini disebut sebagai etos kerja. Etos dapat diartikan sebagai sikap,
kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu . Sikap ini tidak
saja dimiliki oleh individu, tretapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.
Adapun etos kerja dapat diartikan sebagai gairah atau semangat yang amat kuat
untuk mengerjakan sesuatu secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk
mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Etos kerja kerap dikaitkan
dengan profesionalitas kerja seseorang. Artinya, seseorang hendaknya dapat
bekerja sesuai dengan kemampuan masing-masing (QS. Al-Isra: 34).
Bekerja secara
profesional tidak hanya ditentukan dengan kemampuan yang dimiliki seseorang,
melainkan juga etika ia dalam bekerja. Etika bekerja seorang Muslim setidaknya
dapat memunculkan rasa gemar berusaha, hobi bekerja, sebagai mana Allah
berfirman Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka
Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan
kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S.
Attaubah: 105).
Prof Dr
M. Quraish Shihab dalam tafsir Al- Misbah volume 5 halaman 710 menjelaskan bahwa, Allah SWT menilai dan
memberi ganjaran dari tiap pekerjaan hambanya, dan Rosulnya serta orang mukmin
akan melihat dan menilainya juga (Quraish, 2002 : 710 ). Selain itu, Imam Ali
al-Shobuni dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa perintah bekerja dalam ayat
tersebut adalah sebuah peringatan bahwa setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh
hamba-Nya tidak pernah luput dari pengawasan-Nya, lalu pada akhir ayat
tersebut, diterangkan bahwa Allah akan membalas jerih payah dari setiap
keringat yang keluar dari diri muslim dengan ganjaran yang setimpal, apabila
baik, maka baik pula yang akan diperoleh, begitupun sebaliknya (Ali al-Shobuni:
j. 1, …..).
Perintah bekerja telah diwajibkan semenjak nabi
yang pertama, Adam Alaihi Salam sampai nabi yang terakhir, Muhammmad SAW.
Perintah ini tetap berlaku kepada semua orang tanpa membeda-bedakan pangkat,
status dan jabatan seseorang. Bekerja yang dilakuan oleh umat manusia adalah
sesuai dengan ajaran islam, khususnya umat muslim. Berdasarkan syariat, seorang
muslim diminta bekerja untuk mencapai beberapa tujuan. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan
pribadi dengan harta yang halal, mencegahnya dari kehinaan meminta-minta, dan
menjaga tangannya agar tetap berada di atas. Dampak diwajibkannya bekerja bagi
individu oleh Islam adalah dilarangnya meminta-minta, mengemis, dan
mengharapkan belas kasih orang.
Bekerja
diwajibkan demi terwujudnya keluarga yang sejahtera. Tanggung jawab seorang
suami sebagai kepala keluarga adalah memberikan nafkah yang halal dan thayib
bagi istri dan anak-anaknya. Hal ini dicontohkan oleh Nabi SAW., dalam potongan
sabdanya “khairukum khairukum li ahlih, wa ana khairukum li ahlii”
(sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku
adalah yang terbaik diantara kalian dalam memeperlakukan keluargaku” (Al-Mubarakfuri: 2001, j.
9, 360). Adapun penjelasan mengenai “yang paling baik terhadap keluarganya”
adalah dengan bekerja dan berpendapatan dari hasil kerja keras, karna “inna
ma athyaba ma akala al-rajulu min kasbihi” (yang paling baik untuk dimakan
oleh seseorang adalah hasil kerjanya sendiri) (al-Nasa’i: 2010, j. 4, 199).
Allah memerintahan kepada manusia untuk bekerja dan memanfaatan segala
sesuatunya yang sudah disediakan oleh Allah. Hadis-hadis tersebut merupakan
bukti akan adanya revolusi mental dalam bekerja pada zaman Nabi SAW.
C.
IMPLEMENTASI ETOS KERJA MUSLIM PROFETIK
Pemilihan istilah profetik diadopsi dari pemikiran seorang
sejarawan Indonesia Kuntowijoyo, seorang staf pengajar di salah satu
universitas ternama di Indonesia. Profetik yang berarti “kenabian”, mengandung
penjelasan tentang Nabi Muhammad yang telah sampai ke tempat tertinggi, namun
kemudian beliau kembali kedunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya.
Pengalaman Nabi yang luar biasa itu tidak mampu menggoda Nabi untuk berhenti,
akan tetapi menjadikannya sebagai kekuatan psikologis untuk mengubah
kemanusiaan melalui ajaran Islam serta sunna-sunnah yang ia bawa, kemudian
sunah Nabi tersebut dinamakan denga etika profetik (Kuntowijoyo:1998, 69).
Spirit nilai profetik mengandung tiga unsur, amar ma’ruf, nahi
munkar, serta tu’minuna billah (QS. Ali Imran: 110). Kemudian diberikan
istilah yang sesuai dengan social significance berupa Humanisasi (amar
ma’ruf), Liberasi (nahi munkar) serta trensendensi (tu’minuna
billah). Etos kerja profetik sebagai konsep reflektif juga dapat menjadi
sebuah instrumen dalam mewujudkan misi revolusi etika bekerja yang dibawa oleh
Nabi Muhammad. Terdapat tiga proses penting dalam penanaman etos kerja Muslim
profetik. Ketiga proses tersebut adalah: Internalisasi yaitu bagaimana kaum
Muslim memasukkan doktrin agama Islam dalam bekerja, Eksternalisasi yaitu
bagaimana mengimplementasikan etos kerja Muslim Profetik sesuai dengan doktrin
agama, serta Objektifikasi yaitu interaksi sesama dalam membangun etos Kerja
Muslim Profetik.
Khaira
Ummah
Dijelaskan
dalam kitab Fath al-Baari Syarh li Sohih al-Bukhari mengenai tafsiran QS
Ali Imran ayat 110, dimana manusia terutama umat Nabi Muhammad SAW adalah
khaira ummah, sejalan dengan sabdanya “wa ju’ilat ummati khairal umam”
(dan ummatku telah dijadikan sebagai sebaik-baik umat), adapun konsep “khair
al-nas” dimaknai dengan sebaik-baik manusia yang berlaku baik terhadap
sesama dan dapat bermanfaat (Ibn Hajar al-Asqalani: 1998, j 8, 260). Khaira
ummah dijadikan sebuah alasan mengapa manusia dituntut sebagai penyeru kepada
kebaikan dan pencegah segala bentuk kemunkaran (Ali al-Shobuni: 216, j. 1).
Implementasi
etos kerja muslim profetik dengan dasar khairu ummah dimaknai sebagai suatu upaya yang
sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, pikir, dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik. Atau dengan kata lain dapat juga kita katakan bahwa dengan hanya
bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Humanisasi:
Amar Ma’ruf
Penanaman
nilai profetik dalam diri seorang Muslim diperlukan dengan menjadikan al-Quran
serta sunnah sebagai rujukan dalam menghadapi realita sosial. Konsep Humanisasi
(memanusiakan manusia) hadir sebagai sebuah tawaran untuk masalah kriminalitas
yang disebabkan oleh degradasi moral masyarakat Indonesia yang dipicu rendahnya
semangat kerjapelaku tindak kriminalitas. Pelaku kriminalitas sering kali
kehilangan kemanusiannya. Karenanya, suatu usaha untuk mengangkat kembali
martabat manusia humanisasi sangat diperlukan. Hal ini digambarkan dalam QS.
Al-Tin: 5, dimana seluruh manusia dapat terjatuh ke tempat yang paling rendah.
Kemudian ayat itu mengecualikan orang-orang yang beriman dan beramal shalih.
Kiranya ayat ini merujuk pada humanisasi, yaitu iman dan amal shalih, tentu
saja implikasi dari amal shalih itu sangat luas, salah satunya adalah dengan
bekerja.
Humanisasi memberikan kesempatan
setiap pribadi muslim untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan konteks pekerjaan
yang dihadapinya. Manusia harus melakukan rekonstruksi pemikiran menuju
pemikiran yang lebih transformatif dan berwawasan global, yakni sebuah
pemikiran yang mampu membaca kondisi riil masyarakat di dunia global khususnya
di dunia pekerjaan dan tantangannya dalam menuju keberlangsungan hidup manusia
serta mampu mengambil sikap yang berwawasan masa depan dengan tetap mengawali
nilai-nilai humanis dalam bekerja.
Liberasi: Nahi Munkar
Liberasi diserap dari bahasa al-Quran Nahi Munkar yang berarti
melarang, mencegah segala tindak kejahatan juga kerusakan. Liberasi dalam
pembahasan nilai profetik ini mengarah pada liberasi dalam konteks ilmu. Salah
satu sasaran dari liberasi ini adalah sistem pengetahuan. Liberasi sistem
pengetahuan ialah usaha-usaha untuk membebaskan orang dari sistem pengetahuan
materialistis dari dominasi struktur, misalnya dari kelas sosial dan seks
(Kuntowijoyo:1998, 73).
Transendensi:
Tu’minuna Billah
Bagi
umat Islam transendensi berarti beriman kepada Allah SWT. Kedua unsur nilai
profetik (humanisasi dan liberasi) harus mempunyai rujukan Islam yang jelas.
Sudah selayaknya Umat Islam meletakkan Allah sebagai pemegang otoritas , Allah
Yang Maha Objektif. Jika tidak demikian maka dimungkinkan akan timbulnya
relativisme penuh dimana nilai dan norma sepenuhnya adalah urusan pribadi,
nilai tetrgantung pada masyarakat, sehingga nilai dari golongan yang dominan
akan menguasai. Transendensi merupakan konsep yang diderivasikan dari lafadz
tu’minuna billah (beriman kepada Allah), menghadirkan nilai-nilai keilahian
sebagai semangat integralisasi realitas dengan teks (wahyu). Transendensi
adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Maka, transendensi memberikan arah
kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan.
Dari beberapa konsep di atas, kita
dapat melihat pijakan nilai profetik yang ditawarkan sebagai paradigma baru
Umat Islam dalam mengatasi segala bentuk permasalahan besar Indonesia. Konsep
yang diadopsi dari beberapa ayat al-Quran juga menunjukkan kepada kita tentang
langkah-langkah preventif dalam penyelesaian dengan selalau mencari keridhaan
Allah. Beberapa langkah preventif yang tidak terlepas dari spirit profetik yang
dapat dilakukan bagi umat islam seluruhnya diantaranya dengan Iman yang
mendalam yang mengantarkan kepada takwa dan taat kepada perintah Allah,
mengendalikan pandangan mata dari segala hal yang dilarang Allah SWT, menumbuhkan
semangat bekerja……