Adzan Subuh telah berkumandang, Aisyah bergegas mengakhiri bacaan qurannya. Ia turun melalui anak tangga yang cukup untuknya melafadzkan 11 kali bacaan tahlil.
"Aisyah, ba'da subuh nanti tolong ke ndalem ya...," pesan musyrifah ma'had kepadanya.
"Baik, ka..," tanpa berpanjang kalam ia menjawab.
Kebetulan hari itu libur ngaji pagi. Ia menaiki anak tangga gedung B dengan rasa penuh penasaran hingga ia memasuki kamarnya untuk berganti pakaian.
"Allahu Akbar, salah apa saya sehingga saya dipanggil ke ndalem.." gumamnya.
Aisyah jalan merunduk memasuki ndalem, dan dengan suara lirih ia mengucap salam.
"Assalamu'alaikum.." ia memberi salam.
"Wa'alaikum salam nduk, masuk.." sahut Abi (mudir ma'had) pagi itu.
Dengan lututnya ia berjalan menuju tempat dimana Abi biasanya duduk.
"Nduk, Abi perhatikan akhir-akhir ini sampean jarang setoran, ada masalah apa?" tanya Abi tanpa basa basi.
Bak petir menyambar kala pertanyaan ini terlontar untuknya. Aisyah bingung harus menjawab apa. Aisyah tak dapat berkata-kata. Ia hanya menunduk dengan mata berkaca-kaca.
"Nduk, ceritakan saja sama Abi, ndapapa.. Abi ini kan ayahmu juga.."
Aisyah tak kuasa menahan kristalan air mata yang akhirnya jatuh juga membasahi pipi merahnya.
Bukan karena ia sedih karena rutinitas stor hafalan yang sempat macet, melainkan ia haru ternyata Abi mau menegurnya.
"Mboten, Bi.. Aisyah baik-baik saja.." jawab Aisyah terisak.
"Tenan lho, Nduk.. cerita saja sama Abi apa yang membuatmu akhir-akhir ini nda setoran.."
"... (tetap dalam keadaan menunduk) mmm..mmm..." Aisyah masih saja belum dapat mengungkapkan alasannya.
.....
Hening,
.....
Beberapa saat kemudian, Aisyah sedikit mengangkat kepalanya, seperti ada yang ingin ia sampaikan.
Teras Baca Nara
Your past has passed, nothing will change it. You're only hurting yourself with your bitterness. So let's read the sweetness, to minimize your bitterness. (Sweet Nara)
Senin, 13 Juni 2022
CATCALLING: Sebuah Kewajaran atau Pelecehan?
Desember 2017
berdasarkan riset yang dilakukan mahasiswi Universitas Bakrie menunjukkan bahwa
72,4% wanita Indonesia pernah mengalami catcalling
dan 91% dari perempuan yang mengalami catcalling
tersebut merasa risih. (Diambil dari viva.co.id 29 Desember 2017)
Catcalling atau
yang biasa disebut gangguan di jalan (street
harassment) nyatanya masih dianggap lumrah. Hal ini dibuktikan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh beberapa peserta Writing Training for Women
Writer Jakarta, di mana penelitian tersebut menunjukan bahwa sebagian besar narasumber
berpendapat catcalling adalah
perilaku yang wajar dilakukan di jalanan yang mayoritas korbannya adalah perempuan.
“Ah namanya juga
laki-laki mbak, itu hal yang wajar. Seperti kucing dikasih ikan aja, pasti
langsung disamber”, ujar Heru 41
tahun sembari tersipu malu.
Hal ini pun diamini
oleh Ibu Sumiati 43 tahun, yang kerap kali melihat perempuan diganggu di daerah
tempatnya berjualan. Ia menegaskan bahwa hal itu wajar saja, mengingat
banyaknya perempuan yang memakai pakaian minim dan berdandan berlebihan. Lain
halnya dengan yang disampaikan oleh Bapak Tori seorang aktivis gender disalah
satu NGO, yang menyatakan bahwa catcalling
tidak melulu menempatkan perempuan sebagai korban, karena bisa jadi laki-laki
juga menjadi korban. Menurut beliau catcalling
lebih disebabkan oleh adanya ketimpangan relasi kuasa.
Adapun ketimpangan
relasi kuasa terjadi karena seseorang atau kelompok memiliki akses yang lebih
besar terhadap sumber daya yang dikuasai. Beliau melanjutkan catcalling bisa diminimalisir dengan
meningkatkan self defense (ex. bela
diri) bagi tiap individu, baik laki-laki maupun perempuan serta pendidikan
kesetaraan gender ditingkat keluarga yang salah satu valuenya adalah saling melindungi satu sama lain.
Sejalan dengan hal
ini, Negara melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 29 (ayat 1) tentang
Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri,
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. Kemudian, di Pasal
30 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta
perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
Peneliti juga
menambahkan bahwa selain melalui self
defense setiap individu juga harus menanamkan nilai-nilai yang dianut oleh
agama masing-masing, Islam misalnya, melalui Alquran menyiratkan pesan bahwa
antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai pelindung satu dan lainnya (QS.
At-Taubah:71)
(By: Marlia Alvionita, Isna Rahmah
Solihatin, Irma Khairani)
Rabu, 29 Agustus 2018
Malala: “Education Fighter” Masakini
By: ISNA RAHMAH SOLIHATIN
Siapa yang tidak kenal Malala Yousafzai. Seorang Muslim perempuan
asal Pakistan yang namanya mulai tersorot melalui bukunya “I am
Malala” yang dilaunching ketika ia juga
diminta untuk memberikan pidatonya bagi PBB pada tahun 2013 silam. Selain itu,
perempuan yang sempat menjadi korban tembakan brutal para anggota Taliban itu
juga meraih Penghargaan Nobel Perdamaian saat ia masih berusia 17 tahun. Malala
terhitung menjadi orang termuda yang meraih penghargaan tersebut.
Malala, yang bangkit karena hak pendidikannya sempat dirampas oleh
anggota Taliban menyuarakan bahwa ia tak ingin anak-anak lain menjadi takut untuk menjadi agen peruubahan. Ia
mngatakan bahwa pendidikan adalah salah satu kunci bahkan elemen terpenting
untuk dapat merubah moral Bangsanya yang hancur karna kebiadaban oknum. Ia tak
ingin anak-anak bahkan perempuan terdeskriditkan hanya tanpa adanya pendidikan
yang memadai.
Sebagai solusi Malala juga mendirikan Malala Fund yang memiliki concern
dalam bidang pendidikan untuk anak dan perempuan. Bagi Malala, pendidikakn juga
sarana untuk mengolah potensi diri sehingga dapat menjadi perempuan dengan high-qualified
thinking yang dapat memanusiakan manusia atau yang lebih dikenal dengan
humanisasi. Hal ini sejalan dengan salah satu nilai sosial profetik yang
diperkenalkan oleh Kuntowijoyo, seorang intelek Muslim yang cerdas dan memiliki
banyak karya.
Nillai profetik yang berarti nilai kenabian ini menjadi tolak ukur bagi Kuntowijoyo untuk
mengubah peradaban manusia melalui ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh seorang
Nabi. Spirit nilai profetik memiliki tiga unsur, amar ma’ruf, nahi munkar
serta tu’minuna billah. Kemudian diriumuskan ke dalam istilah yang sesuai
dengan social significance berupa Humanisasi (amar ma’ruf), Liberasi
(nahi munkar) serta trensendensi (tu’minuna billah). Islam
melalui Alquran juga menjelaskan bahwa Allah tidak melihat individu tetrtentu
untuk memiliki pendidikan tinggi (QS. Almujadalah)
Meninjau adanya kesamaan misi yaitu untuk memanusiakan manusia atau
humanisasi tanpa pandang bulu, maka siapapun termasuk perempuan berhak untuk
mendapatkan hak pendidikan seperti yang telah disuarakan oleh Malala. Sehingga
setiap perempuan mampu mengembangkan potensi dirinya serta dapat merekonstruksi
pemikiran menuju pemikiran yang lebih transformatif dan berwawasan global. Selain
itu, perempuan sebagai makhluk sosial juga butuh untuk memperluas kesadaran
diri dan mengurangi kerenggangan serta keterasingan dari lingkungan dan proses
aktualisasi.
Sabtu, 30 Desember 2017
My Educational Willing
One of more things which motivates me passing my Education major is how to be the agent of change. I know that to be good youth must have a good personality, good character, etc, and it can be reached by knowledge in any educational fields.
Islam (through Al-Quran) already mentioned how Islam could increase the 'darojah' as a Muslim by his knowledge (al-Mujadilah, 11). In my country especially, as the second Large Muslim over worldwide, Islam has roles to change the character of Muslim himself through a good knowledge.
The things that we should change may by its education system. How could the curriculum puts the Islamic value inside the education (especially for whole Islamic Institutions), and how the teacher could be a role model for all his students. Because as we know, in Indonesia the Education system couldn't be average yet all over Indonesia's region.
I know it couldn't be easy for applying, but I just want to change all of it by giving a suggestion that sounded by my President (read: Joko Widodo), and he policied that all over the works could be realized if all elements could understand the concept of Mental Revolution which has 3 point of change: integrity, hard work and so work in togetherness.
And do you know? This concept also sounded since long time ago, since alquran revealed to our prophet Muhammad, exactly on Surah Ar-ra'd, ayah 11. And I believe through this concept I able to get so much inspiration how to increase whole Islamic Education System all over the Islamic Institutions by Islamic value.
Islam (through Al-Quran) already mentioned how Islam could increase the 'darojah' as a Muslim by his knowledge (al-Mujadilah, 11). In my country especially, as the second Large Muslim over worldwide, Islam has roles to change the character of Muslim himself through a good knowledge.
The things that we should change may by its education system. How could the curriculum puts the Islamic value inside the education (especially for whole Islamic Institutions), and how the teacher could be a role model for all his students. Because as we know, in Indonesia the Education system couldn't be average yet all over Indonesia's region.
I know it couldn't be easy for applying, but I just want to change all of it by giving a suggestion that sounded by my President (read: Joko Widodo), and he policied that all over the works could be realized if all elements could understand the concept of Mental Revolution which has 3 point of change: integrity, hard work and so work in togetherness.
And do you know? This concept also sounded since long time ago, since alquran revealed to our prophet Muhammad, exactly on Surah Ar-ra'd, ayah 11. And I believe through this concept I able to get so much inspiration how to increase whole Islamic Education System all over the Islamic Institutions by Islamic value.
Selasa, 21 November 2017
WHAT IS EDUCATION?
Salah satu hal yang sangat penting dan mendasar untuk dibahas dari
dahulu hingga sekarang adalah pendidikan. Berbicara menegenai pendidikan tentunya
tidak terlepas dari peran seorang guru, yang dalam istilah jawa boleh jadi
diartikan sebagai sosok yang “digugu” dan “ditiru”, maka tidak
berlebihan jika kita mengatakan guru sebagai “role model” dalam dunia
pendidikan. Tentunya boleh saja kita bertanya kepada seorang guru tentang inti
profesinya “Apa yang sebenarnya Anda lakukan sebagai seorang guru?,” maka dengan
jelas seorang guru menjawab “saya
mendidik murid-murid saya”.
Well, kita bisa
saja setuju dengan pernyataannya untuk mendidik murid-muridnya, namun kita mencoba
kembali untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan lain, misalnya: Apa yang Anda
ketahui tentang pendidikakn? Apa yang Anda lakukan ketika mendidik seseorang? Terkesan
simpel memang pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun jawabannya tidak mudah dan
tidak sederhana. Misalnya, apakah tanggapan berikut benar-benar menjawab
pertanyaan: Apa yang Anda maksud dengan pendidikan?
- Saya mengajar murid saya untuk membaca, menulis, menghitung serta dapat mengoperasikan komputer
- Saya mengajar murid saya supaya mereka dapat menjadi masyarakat yang hebat
- Saya mengajar agar murid dapat menghargai seni, literatur, musik serta drama
- Saya mengajar agar murid saya memiliki skill (keterampilan) yang dibutuhkan di seluruh elemen industri dan bisnis
- Saya mengajar murid saya supaya mereka menjadi pemikir yang kritis dan dapat menyelesaikan masalah
Apakah tanggapan tersebut cukup mewakili jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan diatas? Ada baiknya jika kita merujuk pada kamus mengenai
makna pendidikan sebenarnya, maka dapat ditemui sebagai berikut:
- Pendidikan adalah sebuah perlakuan/ proses mendidik atau terdidik
- Pendidikan adalah sebuah perlakuan/ proses untuk menyiapkan seseorang dan membekalinya dengan pengetahuan, keterampilan, kompetensi atau biasanya kualitas perilaku atau karakter yang diinginkan dengan kursus formal, instruksi, atau training
- Pendidikan adalah sebuah pengkondisian, penguatan, atau pendisiplinan terhadap diri seseorang
Meskipun makna leksikal tersebut mengarahkan kita pada sebuah
jawaban, namun ternyata tidak memberi tahu kita secara jelas mengenai jenis
pengetahuan, keterampilan, kompetensi, atau kualitas perilaku yang diinginkan.
Inilah yang akhirnya menimbulkan pertimbangan "what kind of" atau
"whatness" yang membawa kita pada filsafat pendidikan. Ketika
kita berurusan dengan pertanyaan filosofis, maka kita akan concern dengan
fokus yang paling umum tentang apa yang benar, apa yang baik, dan apa yang
indah untuk semua kalangan, bukan saja untuk kepentingan beberapa orang. Maka
di sini, kita dihadapkan dengan empat subdivisi utama filosofi, yaitu:
……
To be continued :) 😃
Adapted from Gera D L. Gutek’s book, “Philosophical and
Ideological Voices in Education”
Rabu, 01 November 2017
الØياة المسيرة أم الØياة المخيرة؟
Begitu pertanyaan yang dilontarkan salah satu dosen kami usai diskusi renyah malam ini..
Terkadang:
Hidup dapat dimaknai sebagai ssuatu yg telah dijalankakn oleh Pencipta,
ketika ssorg menghaapkan dan telah mmilihnya untuk dijalankan misalnya, namun Tuhan dn keadaan berkata lain, lalu ia dengan mudahnya mengikkuti arus..
dapat juga dimaknai sebagai pilihan kala seseorang benar-benar memilih keputusan yang ia hendaki dan dengan sekuat tenaga ia berusaha merealisasikannya tak peduli apapun rintangannya, karna baginya hidup tergantung usahanya..
Lalu bagaimana denganmu??
Ah, bagiku hidup itu 'lucu'..
Mengapa?
lucu, karena terkdang hidup mmbuat ku tertawa atas kekonyolan yang tak pernah terbayangkan sama sekali..
lucu, karena terkadang membuatku berkali-kali menyeka air mata lara pun bahagia..
lucu, karena terkadang membuat langkah kakiku tak dapat mengayuh..
lucu, karena terkadang...
ah, sudahlah..
Terkadang:
Hidup dapat dimaknai sebagai ssuatu yg telah dijalankakn oleh Pencipta,
ketika ssorg menghaapkan dan telah mmilihnya untuk dijalankan misalnya, namun Tuhan dn keadaan berkata lain, lalu ia dengan mudahnya mengikkuti arus..
dapat juga dimaknai sebagai pilihan kala seseorang benar-benar memilih keputusan yang ia hendaki dan dengan sekuat tenaga ia berusaha merealisasikannya tak peduli apapun rintangannya, karna baginya hidup tergantung usahanya..
Lalu bagaimana denganmu??
Ah, bagiku hidup itu 'lucu'..
Mengapa?
lucu, karena terkdang hidup mmbuat ku tertawa atas kekonyolan yang tak pernah terbayangkan sama sekali..
lucu, karena terkadang membuatku berkali-kali menyeka air mata lara pun bahagia..
lucu, karena terkadang membuat langkah kakiku tak dapat mengayuh..
lucu, karena terkadang...
ah, sudahlah..
Senin, 21 Agustus 2017
ILMU USLUBIYAH: PENDEKATAN MEMAHAMI FILSAFAT ALQURAN
Oleh: Isna Rahmah Solihatin
Alquran adalah kitab terakhir yang Allah turunkan kepada Nabi
Muhammad sekaligus menjadi kiteb penyempurna dari kitab-kitab terdahulu sebelum
Alquran yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Allah menurunkan Alquran sebagai
pedoman hidup bagi manusia. Selain itu, Alquran adalah mukjizat Rasulullah yang
berlaku hingga akhir zaman. Allah yang menurunkannya dan Dia pula yang
memelihara kemurniannya.
Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia tentunya mengatur segala aspek kehidupan, mulai dari sains hingga ilmu sosial. Dalam bidang sains misalnya, Alquran menyebutkan tentang bagaimana manusia diciptakan dengan bentuk yang paling sempurna (ahsani taqwiim) dengan seluruh komponen dhzohiriyyah maupun bathiniyyah, terutama akal manusia.
Akal yang dimiliki
manusia merupakan potensi (luar biasa) yang dianugerahkan Allah kepada manusia, karena
dengan akalnya manusia memperoleh pengetahuan dengan berbagai hal. Manusia
dengan commen sense-nya dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
mana yang baik dan yang buruk, mana yang menyelamatkan dan mana yang
menyesatkan, mengetahui rahasia hidup dan kehidupan dan seterusnya.
Tidaklah
berlebihan jika agama dan ajaran islam
memberikan tempat yang tinggi kepada akal, karena akal dapat digunakan memehami
agama dan ajaran islam sebaik-baiknya dan seluas-luasnya. Berulangkali al-Qur’an sebagai sumber keberagamaan
sesorang
memerintahkan manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya (QS. Saba’ : 46). Tuntutan
dalam berpikir meliputi kesugguhan, tanggung jawab, dan kemanfaatan.
Tuntutan untuk berfikir yang disertai dengan kesungguhan
serta tanggung jawab tentunya akan melahirkan output berupa kebenaran
yang hakiki mengenai semua yang ada dalam pedoman keberagamaannya. Proses
berfikir tersebut kemudian diberi label “berfilsafat.” Berfilsafat mengenai
al-Quran artinya berproses mencari kebenaran-kebenaran yang ada dalam al-Quran
ditinjau dari berbagai segi, misalnya bahasa.
Seorang peneliti bahasa akan mengatakan bahwa bahasa
al-Quran banyak ketidaksesuaian dengan kaidah bahasa yang benar. Hal tersebut
dapat menjadi sebuah masalah ketika seseorang menjadikannya dalil untuk
mengatakan bahwa al-Quran tidak dapat dibenarkan keabsahannya dilihat dari sisi
kebahasaan. Namun tentunya sebagai wahyu terbesar yang diturunkan kepada Nabi
terkahir umat Muslim, hal ini adalah bentuk kemukjizatan dari Al-Quran itu
sendiri, dimana tidak dapat seorangpun untuk meniru keindahan Bahasa Al-Quran.
Banyak Ilmuwan bahasa yang kemudian menulis tentang rahasia-rahasia dibalik
keindahan bahasa al-Quran. Salah satu kenbenaran akan keindahan bahasa Al-Quran
dapat ditelaah melalui ilmu uslubiyah.
Ilmu uslubiyah merupakan salah satu cabang ilmu bahasa
kontemporer yang mendalami tentang penjelasan terhadap karakteristik sebuah
karya sastra (termasuk al-Quran) baik dari segi ashwat (fonologi), shorof
(morfologi), nahwu (sintaksis), balaghah (stilistika), maupun tajwid. Kebenaran
mengenai kemukjizatan sebuah ayat dalam al-quran dapat ditelaah dengan ilmu
uslubiyah ini dengan menggunakan beberapa analisis, diantaranya:
a.
Analisis Ashwat:
bagaimana sebuah kata dalam ayat alquran dapat mengeluarkan bunyi, dimana dalam
analisis ini bunyi tersebut dapat dikaitkan dengan ilmu tajwid yang membahas
tentang makaharijul huruf dan shifatul huruf.
b.
Analisis Shorf: menganalisa
bentuk kata, apakah dia subjek, predikat, objek, kata sifat, kata keterangan
dan lain sebagainya.
c.
Analisis Nahwu: menganalisa
kalimat dalam sebuha ayat al-quran.
d.
Analisis Dilalah: menganalisa
makna dalam sebuah ayat al-quran
e.
Analisis Ta’bir:
menganalisa ungkapan yang terdapat dalam ayat al-quran
f.
Analisis Ihso’iy:
menganalisa kebenaran dengan menggunakan ilmu hitung, misal dalam surat annas
terdapat huruf sin sekian, huruf mim sekian dst.
g.
Analisis Wadhzifiy:
menganalisa fungsi suatu ayat dalam al-Quran. Analisis Wadzhifiy ini
merupakan langkah terkahir untuk menganalisa sebuah ayat yang kemudian nantinya
akan mengungkan kebenaran implisitas (the truth of impplicity) sebuah ayat.
Namun sayangnya, masih sedikit sekali yang meneliti
kebenaran al-Quran dengan menggunakan ilmu ini. Hal ini kemudian menarik
perhatian penulis untuk memngkaji lebih dalam tentang filsafat al-quran dengan
menggunakan pendekatan ilmu uslubiyah. Dengan demikian truth claim atau
klaim atas kebenaran sebuah pedoman keberagamaan umat Muslim tidak diragukan
lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)